Minggu, 03 April 2011

Tipe pengetahuan

Istilah pengetahuan dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata knowledge dalam taksonomi Bloom. Sekalipun demikian, maknanya tidak sepenuhnya tepat sebab dalam istilah tersebut termasuk pula pengetahuan faktual disamping pengetahuan hafalan atau untuk diingat seperti rumus, batasan, definisi, istilah, pasal dalam undang-undang, nama-nama tokoh, nama-nama kota dll. Dilihat dari segi proses belajar, istilah-istilah tersebut memang perlu dihafal dan diingat agar dapat dikuasainya sebagai dasar bagi pengetahuan atau pemahaman konsep-konsep lainnya. Ada beberapa cara untuk dapat mengingat dan menyimpannya dalam ingatan seperti teknik memo, jembatan keledai, mengurutkan kejadian, membuat singkatan yang bermakna. Tipe hasil belajar pengetahuan termasuk kognitif tingkat rendah yang paling rendah. Namun, tipe hasil belajar ini menjadi prasarat bagi tipe hasil belajar berikutnya. Hafalan menjadi prasarat bagi pemahaman. Hal ini berlaku bagi semua bidang ilmu, baik matematika, pengetahuan alam, ilmu sosial, maupun bahasa. Misalnya hafal suatu rumus akan menyebabkan paham bagaimana menggunakan rumus tersebut; hafal kata-kata akan memudahkan membuat kalimat (Dharma, 2008).

Senin, 28 Maret 2011

Kepribadian Guru

Guru bertugas untuk mendidik, mengajar, dan melatih peserta didik. untuk melaksanakan ketiga tugas tersebut, guru dituntut mempunyai beberapa kemampuan yaitu berwawasan luas, menguasai bidang ilmunya, dan mampu mentransfer, mempunyai sikap dan tingkah laku yang patut diteladani, memiliki keterampilan yang sesuai dengan bidang ilmunya. keterampilan yang dimaksud adalah mampu merumuskan alat tes yang valid dan reliabel, mampu menggunakan alat tes dan non tes secara tepat, melaksanakan penilaian secara objektif, jujur, dan adil, dan menindaklanjuti hasil evaluasi secara proporsional.
Guru berperan sebagai demostator, mediator, evaluator, dan fasilitator. guru berfungsi sebagai pendidik dan didaktikus. sebagai didaktikus seorang guru dituntut memiliki keterampilan seperti jelas daalm menerangkan dan memberi tugas, bervariasi dalam menggunakan prosedur didaktik, bekerja sistematik, mampu menanggapi pertanyaan dan gagasan secara posistif, dan memberikan umpan balik yang informatif tentang kemajuan siswa.

Guru Efektif

Guru merupakan manusia yang patut digugu dan ditiru. digugu berarti segala ucapannya dapat dipercayai. ditiru berarti segala tingkah lakunya harus dapat menjadi contoh atau teladan bagi masyarakat. Guru merupakan profesi, jabatan, dan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus. keahlian khusus ini diperoleh dari latar bidang kependidikan. namun kenyataannya masih terdapat guru yang bersal dari luar bidang kependidikan dengan mengambil akta IV selama 6 bulan.
Walaupun guru telah mengajar selama bertahun-tahun, namun para guru kerap menghadapi berbagai kendala dalam proses belajar mengajar. dengan adanya kendala atau hambatan maka tujuan pembelajaran tidak tercapai sehingga proses pembelajaran tidak efektif. ketidakefektifan ini disebabkan oleh guru yang tidak efektif.
Untuk menjadi guru efektif memerlukan sikap penuh perhatian, pantang menyerah, penjelasannya mudah dipahami, mengelola kelas dengan baik, meningkatkan seluruh kemampuan siswa ke arah yang lebih posistif, dan memiliki konsep diri positif.
guru yang memiliki konsep diri positif dapat menciptakan situasi belajar yang kondusif dan menyenangkan. faktor yang mendukungnya yaitu empati terhadap segala kebutuhan siswa, mengajar sesuai selera siswa, memberi penguatan, dan riang dalam proses pembelajaran.

Minggu, 27 Maret 2011

Inferensi

Inferensi adalah sebuah pernyataan yang dibuat berdasarkan fakta hasil pengamatan. Hasil inferensi dikemukakan sebagai pendapat seseorang terhadap sesuatu yang diamatinya. Pola pembelajaran untuk melatih keterampilan proses inferensi, sebaiknya menggunakan teori belajar konstruktivisme, sehingga siswa belajar merumuskan sendiri inferensinya.

Klasifikasi

Klaslifikasi adalah proses yang digunakan ilmuwan untuk mengadakan penyusunan atau pengelompokkan atas objek-objek atau kejadian-kejadian. Keterampilan klasifikasi dapat dikuasai bila siswa telah dapat melakukan dua keterampilan berikut ini:
a. Mengidentifikasi dan memberi nama sifat-sifat yanng dapat diamati dari sekelompok objek yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengklasifikasi.
b. Menyusun klasifikasi dalam tingkat-tingkat tertentu sesuai dengan sifat-sifat objek.
Klasifikasi berguna untuk melatih siswa menunjukkan persamaan, perbedaan dan hubungan timbal baliknya.

Observasi (pengamatan)

Pengamatan merupakan salah satu keterampilan proses dasar. Keterampilan pengamatan menggunakan lima indera yaitu penglihatan, pembau, peraba, pengecap dan pendengar. Apabila siswa mendapatkan kemampuan melakukan pengamatan dengan menggunakan beberapa indera, maka kesadaran dan kepekaan mereka terhadap segala hal disekitarnya akan berkembang, pengamatan yang dilakukan hanya menggunakan indera disebut pengamatan kualitatif, sedangkan pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan alat ukur disebut pengamatan kuantitatif. Melatih keterampilan pengamatan termasuk melatih siswa mengidentifikasi indera mana yang tepat digunakan untuk melakukan pengamatan suatu objek.
Menurut Adnan, Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam melakukan suatu pengamatan, yaitu:
• Harus diketahui kapan dan dimana pengamatan itu dilakukan, misalnya apakah pengamatan itu hanya dilakukan pada waktu dan tempat tertentu saja atau apakah keadaan lingkungannya sama atau berbeda.
• Harus ditentukan objek yang diamati, misalnya mengamati bentuk morfologi daun, mengamati jumlah daun, mengamati bentuk kaki pada unggas.
• Harus diketahui secara jelas data apa yang harus dikumpulkan dan relevan dengan tujuan pengamatan.
• Harus diketahui bagaimana cara mengumpulkan data pengamatan, misalnya untuk mengamati data tinggi tanaman digunakan mistar atau meteran.
• Harus diketahui tentang cara mencatat hasil pengamatan
Hasil pengamatan dapat dibuat dalam bentuk gambar, bagan, tabel dan grafik. Beberapa perilaku yang dapat dikerjakan pada saat pengamatan, yaitu:
• Penggunaan indera-indera, bukan hanya penglihatan.
• Pengorganisasian objek-objek menurut satu sifat tertentu. Pengidentifikasian banyak sifat.
• Pengidentifikasian perubahan-perubahan dalam suatu objek.
• Melakukan pengamatan kuantitatif (Contoh “ 5 kilogram” bukan berat) Melakukan pengamatan kualitatif (Contoh: “Baunya seperti susu asam”, bukan berbau)

Pengantar

Keterampilan berarti kemampuan menggunakan pikiran, nalar, dan perbuatan secara efisien dan efektif untuk mencapai suatu hasil tertentu, termasuk kreativitas. Proses didefinisikan sebagai perangkat keterampilan kompleks yang digunakan ilmuwan dalam melakukan penelitian ilmiah. Proses merupakan konsep besar yang dapat diuraikan menjadi komponen-komponen yang harus dikuasai seseorang bila akan melakukan penelitian (Devi, 2011).
Sains (science) diambil dari kata latin scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan. Sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas (Wikipedia, 2011).
Perkembangan ilmu pengetahuan sains berupaya membangkitkan minat manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tak habis-habisnya. Dengan tersingkapnya tabir rahasia alam itu satu persatu, serta mengalirnya informasi yang dihasilkannya, jangkauan sains semakin luas dan lahirlah sifat terapannya, yaitu teknologi. Namun dari waktu jarak tersebut semakin lama semakin sempit, sehingga semboyan " Sains hari ini adalah teknologi hari esok" merupakan semboyan yang berkali-kali dibuktikan oleh sejarah. Bahkan kini Sains dan teknologi manunggal menjadi budaya ilmu pengetahuan dan teknologi yang saling mengisi (komplementer), ibarat mata uang, yaitu satu sisinya mengandung hakikat Sains (the nature of Science) dan sisi yang lainnya mengandung makna teknologi (the meaning of technology). Oleh karena itu, proses pelaksanaan pendidikan harus mencakup perkembangan teknologi dan sains demi kebutuhan manusia di masa yang akan datang.
Menurut Blosser (1973), proses pembelajaran sains cenderung menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi dan menumbuhkan kemampuan berfikir. Pembentukan sikap ilmiah seperti ditunjukan oleh para ilmuawan sains dapat dikembangkan melalui keterampilan-keterampilan proses sains. Sehingga keterampilan proses sains, dapat digunakan sebagai pendekatan dalam pembelajaran.
Pendekatan keterampilan proses adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep dan teori-teori dengan keterampilan intelektual dan sikap ilmiah siswa sendiri. Siswa diberi kesempatan untuk terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan ilmiah seperti yang dikerjakan para ilmuwan, tetapi pendekatan keterampilan proses tidak bermaksud menjadikan setiap siswa menjadi ilmuwan (Devi, 2011). Menurut Dahar (1985:11) dalam Nuh (2010), Keterampilan Proses Sains (KPS) adalah kemampuan siswa untuk menerapkan metode ilmiah dalam memahami, mengembangkan dan menemukan ilmu pengetahuan. KPS sangat penting bagi setiap siswa sebagai bekal untuk menggunakan metode ilmiah dalam mengembangkan sains serta diharapkan memperoleh pengetahuan baru/ mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki.
Keterampilan proses sains sebagai pendekatan dalam pembelajaran sangat penting karena menumbuhkan pengalaman selain proses belajar. Mengingat semakin banyaknya sekolah yang telah memiliki laboratorium Biologi, sehingga perlu upaya meningkatkan efektivitas pembelajaran, khususnya prestasi hasil belajar kognitif yang didukung oleh keterampilan serta sikap dan prilaku yang baik. Oleh karena itu para guru hendaknya secara bertahap mulai bergerak melakukan penilaian hasil belajar dalam aspek keterampilan dan sikap (Rustaman, 2003).

Minggu, 20 Maret 2011

Pembelajaran Kooperatif (translate Myron H. Dembo)

Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya pada bab 5, bahwa terdapat beberapa tipe pembelajaran yang bisa kita lakukan agar proses pentransferan ilmu dan pengetahuan kepada siswa dapat berjalan maksimal. Diantaranya adalah: Pembelajaran yang bersifat individual, kompetitif dan kooperatif.
Masing masing tipe ini mempunyai efek dan pengaruh yang berbeda dalam hubungannya motivasi dan interaksi di dalam kelas. Penulis melihat bahwa ada kecenderungan bagi siswa untuk sulit dan gagal dalam berinteraksi dalam pembelajaran yang bersifat individual dan kompetitif ketimbang model pembelajaran yang bersifat kooperatif. Karena itu penelitian ini berusaha memberikan sejumlah gambaran dan deskripsi betapa pembelajaran model kooperatif penting untuk membangun motivasi dan kontrol diri siswa dan kedepannya diharapkan dapat meningkatkan prestasi para siswa tersebut.
Meskipun ada berbagai macam cara dalam mengeksekusi metode pembelajaran yang bersifat kooperatif ini, namun menurut Slavin pada prinsipnya ada beberapa karakteristik atau ciri khas metode ini yaitu:
1. Siswa bekerja dalam kelompok yang beranggotakan 4 hingga 6 orang dalam satu tim atau grup yang tetap konsisten dalam beberapa minggu
2. Para siswa diberikan motivasi dan pemahaman untuk saling membantu satu sama lain untuk mempelajari materi yang diberikan dalam suatu kelompok
3. Dalam beberapa teknik yang pernah diterapkan, selalu ada reward (penghargaan) yang diberikan berdasarkan prestasi kerja masing – masing kelompok. Hadiah yang diberikan bisa dalam berbagai bentuk dari sekedar penghargaan secara verbal, surat piagam penghargaan hingga nilai khusus bagi kelompok yang menang.
4 teknik yang paling umum dan paling banyak digunakan dalam pembelajaran yang bersifat kooperatif adalah kompetisi permainan antar kelompok (TGT), Pembagian prestasi menurut kelompok (STAD), teka – teki bergambar (JIGSAW), dan penelitian dan pemeriksaan yang berbasis kelompok (GROUP INVESTIGATION).
Kompetisi / Turnamen Antar Kelompok (TGT)
Dalam kompetisi atau turnamen antar kelompok (TGT) ini, siswa – siswa dari Berbagai kemampuan, ras, dan gender dikelompokkan dalam grup yang beranggotakan 4 hingga 5 orang. Setelah guru mempresentasikan materi pelajaran yang ada, tim atau kelompok yang ada harus melengkapi lembar kerja dan kuis yang diberikan guru selanjutnya bekerja dalam kelompok guna persiapan kompetisi atau turnamen yang biasanya diadakan setiap seminggu sekali. Dalam kompetisi atau turnamen antar kelompok (TGT) ini siswa diinstruksikan berkompetisi yang masing – masing anggotanya berjumlah 3 orang, ini kita sebut sebagai “turnamen meja” dimana mereka akan berkompetisi dengan sesama siswa yang berkemampuan sepadan yang biasanya didasarkan pada hasil dari kompetisi dari pertandingan yang terdahulu. Akibatnya, siapapun kelompok atau siswa yang memiliki nilai yang terkecil di masing – masing kelompok tetap mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih poin sebanyak mungkin dengan kelompok yang memiliki nilai yang tertinggi.
Turnamen atau pertandingan berlangsung dimana peraturannya adalah masing – masing siswa yang ada dalam kelompok berganti – gantian mengambil kartu yang ada dan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan dan telah dipelajari sebelumnya selama seminggu tersebut. Diakhir turnamen atau pertandingan, guru akan membuat surat yang didalamnya berisikan hasil pertandingan beserta nilai dan skor dari masing – masing kelompok atau tim (seperti pada pertandingan bowling). Meskipun anggota kelompok tetaplah seperti semula, namun tugas dalam turnamen atau pertandingan bisa sangat mungkin berubah berdasarkan kinerja atau prestasi kerja masing – masing siswa.
Pembagian prestasi menurut kelompok (STAD)
Pembagian prestasi menurut kelompok (STAD) ini pada prinsipnya menggunakan metode yang kurang lebih sama dengan metode kompetisi atau turnamen antar kelompok (TGT) namun dengan perbedaan pada materi misalnya kuis – kuis yang diberikan selama 15 menit dimana masing – masing siswa harus melakukannya setelah mereka belajar bersama kelompoknya. Skor dan nilai akhir dijumlahkan secara kolektif dimana nilai tertinggilah yang keluar sebagai pemenang. “Nilai peningkatan” juga diperhitungkan.
Jigsaw
Dalam model pembelajaran yang menggunakan metode ini, siswa dilibatkan dalam tim atau kelompok yang lebih heterogen. Materi pelajaran dibagi kepada masing – masing anggota tim/kelompok dan siswa – siswa dalam kelompok tersebut akan berusaha untuk membaur dengan siswa dari kelompok yang berbeda tetapi memiliki topik pelajaran yang sama. Selanjutnya, mereka kembali ke kelompok mereka dan mengajarkan apa yang mereka telah pelajari di kelompok sebelumnya hingga semua anggota kelompok dites dan diberikan informasi yang sesuai. Misalnya, katakanlah bahwa sang guru memberikan tugas kepada para siswanya untuk mencari informasi sebanyak mungkin tentang Martin Luther King Jr. maka sang guru tersebut akan membagi informasi autobiografi sang tokoh kedalam beberapa bagian tergantung jumlah siswa yang ada dalam kelompok. Para siswa tersebut akan belajar dengan siswa dari kelompok lain yang memiliki topik pelajaran atau topik persoalan yang sama. Kemudian seperti biasa mereka akan kembali ke kelompoknya untuk mengajarkan anggota kelompok tersebut apa yang telah mereka pelajari.
Tujuan utamanya adalah untuk mempelajari lebih dalam tentang biografi sang tokoh tersebut. Nilai atau skor yang didapat sangat bergantung pada prosedur apa yang dipakai. Satu pendekatan hanya bisa diterapkan untuk satu orang siswa saja. Sedangkan untuk pendekatan kolektif lebih mengarah pada penilaian secara tim.
Penelitian atau Penyelidikan Kelompok (Group Investigation)
Penelitian atau penyelidikan kelompok adalah salah satu metode pembelajarn kooperatif dimana para siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk menyelesaikan berbagai proyek kelas yang ada. Masing – masing tim membagi kerja kelompoknya ke dalam topik – topik yang lebih sederhana untuk kemudian masing anggota kelompok mengerjakan tugas dan kegiatan yang relevan agar bisa mencapai target yang diberikan. Masing – masing kelompok membuat sebuah presentasi tentang penelitian mereka ke depan kelas. Dalam penelitian atau penyelidikan kelompok ini, penghargaan atau reward dan poin tidak diberikan. Tetapi siswa tersebut disemangati untuk mngerjakan tugas tim secara bersamaan untuk mencapai tujuan bersama.
Penelitian Berbasis Pembelajaran Kooperatif (Research on Cooperative Learning)
Penelitian Berbasis Pembelajaran Kooperatif menemukan bahwa pembelajaran kooperatif dalam banyak hal memiliki efek dan implikasi positif terhadap prestasi akademik seseorang. Pembelajaran kooperatif juga meningkatkan sense of cooperative atau nilai – nilai kerjasama antara satu dan lain serta belajar untuk bagaimana bersosialisasi dan rendah hati terhadap sesama khususnya sesama anggota kelompok yang ada. Selain itu juga, pembelajaran kooperatif juga dapat meningkatkan hubungan ras dan penerimaan sosial yang lebih baik dan lebih dalam lagi antara individu – individu yang ada di dalam kelas. (Johnson & Johnson, 1987b; Slavin, 1983). Berdasarkan penemuan – penemuan positif yang ditemui dalam penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat menjadi sebuah alternatif pembelajaran dan alternatif metode diantara sekian banyak metode yang ada yang terbilang efektif dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran di kelas yang lebih baik. Setelah mengetahui bahwa pembelajaran yang bersifat kooperatif itu lebih baik dan efektif dan bahwa beberapa temuan dan penelitian mendukung kebenaran itu maka alangkah lebih baik jika kita bahas lebih jauh tentang bagaimana mempersiapkan para siswa tersebut dengan pembelajaran yang bersifat kooperatif ini.
Penulis telah banyak berbicara dan berbincang dengan para guru dan kebanyakan diantara mereka berkata bahwa pembelajaran yang bersifat kooperatif ini telah mereka terapkan tetapi tetap tidak kunjung berhasil. Setelah berbicara lebih jauh ternyata ditemukan fakta bahwa para guru tersebut tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup tentang bagaimana mempersiapkan pembelajaran kelompok atau kooperatif ini. Ada satu hal yang perlu diingat dan dicatat bagi para guru bahwa para siswa menghabiskan kebanyakan waktu mereka di sekolah dengan saling bersaing dan berkompetisi dan acapkali merasa sulit untuk menghindari iklim kompetisi ini. Karena itu berikut ini kita akan mempelajari lebih jauh tentang bagaimana Aplikasi di Ruang Kelas dapat menolong para guru untuk mempersiapkan siswa mereka dengan pembelajaran yang bersifat kooperatif.
APLIKASI DI RUANG KELAS : Mempersiapkan Siswa Untuk Pembelajaran Kooperatif
Kesuksesan dari pembelajaran yang bersifat kooperatif sangatlah tergantung pada kemampuan para siswa dalam berinteraksi secara tepat dan layak dalam ruang lingkup kelompok atau grup. Johnson dkk (1984) mengidentifikasi sejumlah keahlian interpersonal yang dibutuhkan untuk mewujudkan keberhasilan penerapan pembelajaran yang bersifat kooperatif ini, antara lain sebagai berikut:
MEMBENTUK
Pembentukan skill atau keahlian sangat dibutuhkan dalam upaya untuk mengatur kelompok dan membangun pola tingkah laku yang sesuai dengan standar minimum norma – norma sosial yang berlaku. Salah satu skill yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk masuk dan keluar atau bergabung dan keluar dari suatu komunitas tanpa menimbulkan gangguan dan keributan, kemampuan untuk bekerja secara tenang dan kemampuan untuk secara aktif berinteraksi dalam tim/kelompok (misalnya: bekerja sesuai tugas yang diberikan), memberikan semangat pada setiap orang untuk berpartisipasi secara aktif, dan kemampuan untuk berinteraksi dengan anggota kelompok secara lebih sopan. Salah satu pola tingkah laku yang paling penting yang dititikberatkan oleh guru adalah kecenderungan untuk “menjatuhkan” bukanlah bagian dari pembentukan kelompok yang efektif.
MEMFUNGSIKAN
Keahlian untuk memfungsikan diri dalam kelompok menduduki posisi kedua untuk skill yang dibutuhkan dalam pembelajaran yang bersifat kooperatif. Keahlian – keahlian tersebut meliputi kemampuan untuk mengelola dan mengimplementasikan kemampuan kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan serta untuk mempertahankan efektifitas serta harmonisasi hubungan kerja sesama anggota kelompok.
Keahlian ini meliputi kemampuan untuk memberikan sokongan dan dukungan antara sesama anggota kelompok dan kemampuan untuk menerima keberadaan dan kontribusi sesama anggota tim, kemampuan untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk menanyakan atau mengklarifikasi apa yang sedang terjadi, kemampuan untuk menawarkan atau menanyakan keberadaan anggota kelompok lain dan kemampuan untuk memotivasi dan menyemangati anggota kelompok dengan sugesti atau optimisme dan antusiasme yang mendalam.
MEMFORMULASIKAN
Memformulasikan keahlian ditujukan untuk menolong para siswa memahami dan mengingat materi – materi pelajaran yang diberikan dalam kelompok atau tim selama pelajaran berlangsung. Keahlian ini meliputi kemampuan untuk mendorong dan memotivasi anggota kelompok untuk merangkum dan meringkas apa yang telah diajarkan, kemampuan untuk menambahkan sejumlah informasi berharga ketika informasi yang dikumpulkan tidak sempurna atau tidak lengkap, kemampuan untuk mereview informasi – informasi yang bermanfaat dan penting serta kemampuan untuk menggunakan strategi atau metode yang efektif agar dapat mengingat sebanyak mungkin informasi serta ide – ide yang penting dan berguna selama pelajaran.
MEMFERMENTASIKAN
Keahlian memfermentasikan dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menstimulasi dan memformulasi ulang hal – hal yang bersifat akademik untuk kemudian disusun secara lebih baik berdasarkan ide, nalar dan logika berpikir sederhana. Contoh sederhana dari hal ini adalah kemampuan untuk mengkritisi ide orang lain tetapi bukan orang yang bersangkutan, kemampuan untuk mengetahui bagaimana memformulasikan hal – hal sederhana menjadi sebuah hal yang besar dan bermanfaat, kemampuan untuk mengetahui menyelediki serta mendeteksi dan meramu informasi yang ada untuk kemudian membuat suatu jawaban dan solusi yang tepat terhadap masalah. Inti terbesar dari permasalahan dan persoalan pada level ini adalah untuk mengajarkan para anggota kelompok untuk tidak berhenti hanya pada level mengetahui semata tetapi juga hingga level mencari solusi pada setiap masalah yang dihadapi. Karena terkadang solusi yang cepat terhadap sebuah masalah tidaklah selalu memberikan jalan keluar yang efektif dan seringkali bukanlah solusi yang terbaik.
Para siswa tersebut haruslah dibiasakan untuk belajar membiasakan diri berpikir dan memberikan sumbangsih intelektual kepada anggota kelompok. Sebagai penekanan sekali lagi penulis tegaskan bahwa para siswa perlu diajarkan untuk belajar mengasah diri agar bisa memiliki kemampuan dalam membaur dengan sesama anggota kelompok serta keahlian untuk memenej situasi di dalam kelas dan untuk memastikan agar para anggota kelompok dapat mengembangkan sikap dan tingkah laku yang positif terhadap kelompok.
Keahlian fungsional berfungsi menolong para siswa tersebut untuk berinteraksi secara lebih efektif dalam kelompok atau tim. Keahlian dalam memformulasi ini diharapkan dapat menolong para siswa untuk lebih dapat berpikir dan membuat keputusan yang lebih efektif dalam kelompok mereka. Akhirnya keahlian memformulasikan yang biasanya cukup sulit untuk diajarkan, bisa diharapkan menolong para siswa untuk terbiasa menghadapi persoalan dan bisa membuat solusi dan jalan keluar terhadap setiap permasalahan baik yang rumit maupun yang terlihat sepele.
Untuk mengajarkan keahlian ini, Johnson dkk (1984, p. 49) memberikan 5 langkah efektif untuk bisa menguasainya, antara lain:
1. “Pastikan bahwa para siswa tersebut melihat pentingnya keahlian ini” sejumlah guru kadang menggunakan papan bulletin atau poster untuk mengidentifikasikan pola tingkah laku anggota – anggota yang ada dalam kelompok. Keahlian ini dapat diperkenalkan semenjak hari-hari pertama sekolah yaitu ketika sang guru memperkenalkan sekolah beserta segala peraturan dan prosedur yang ada di sekolah tersebut. Mulailah dengan beberapa peraturan dasar kelompok dan diskusikan pentingnya keahlian dan pola tingkah laku ini ke dalam kelas.

2. “Pastikan bahwa para siswa tersebut memahami apa itu skill dan keahlian serta bagaimana dan kapan menggunakannya” seperti yang pernah saya ungkapkan sebelumnya di dalam bab 7 bahwa para siswa perlu melihat model dan mempraktikan peraturan – peraturan dasar di dalam kelas. Mengamati tingkah laku kelompok tertentu serta menciptakan kesempatan untuk mempraktikan skill atau keahlian adalah prosedur standar dalam rangka belajar bagaimana untuk bertingkah laku secara tepat dan layak dalam pergaulan kelompok.
3. “Mempersiapkan situasi yang kondusif dan memotivasi para siswa untuk menguasai skill atau keahlian yang dibutuhkan” sebagai seorang guru anda dapat memberikan dan memberikan contoh inisiatif peran - peran yang berbeda untuk masing – masing anggota kelompok misalnya menjadi penyemangat, menjadi perangkum, menjadi pencari inti masalah, menjadi pencari solusi dan lain – lain dan kemudian mengevaluasi ke dalam kelas bagaimana peran – peran tersebut dimainkan di dalam kelompok. Biasanya siswa akan memberikan saran dan pendapat yang membangun seperti tips – tips yang berkaitan dengan persoalan tersebut yang berkorelasi positif dengan tindakan, keahlian atau prosedur dalam interaksi kelompok tersebut.
4. “Pastikan bahwa para siswa memiliki waktu yang cukup dan mengetahui secara jelas prosedur dalam berdiskusi (dan menerima umpan balik tentang) seberapa baik mereka menggunakan keahlian ini” Sebagai seorang guru anda dituntut untuk bisa menolong para siswa tersebut mengevaluasi fungsi – fungsi dari keahlian yang mereka miliki. Salah satu cara yang terbukti efektif adalah dengan membagikan kuesioner yang berisi pertanyaan - pertanyaan seperti berikut…
“Apakah anda merasa bahwa anda bisa memberikan kontribusi yang positif kepada kelompok atau tim anda?” atau “apakah anggota kelompok yang ada mendengarkan suara atau kontribusi anda?” “seberapa efektif dan berhasilkah kelompok anda bekerja dalam rangka mencari solusi terhadap persoalan yang ada?” jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi indikator – indikator yang sangat berguna bagi terciptanya interaksi yang baik dalam kelompok.
5. “Pastikan bahwa para siswa bisa konsisten dan persisten dalam mempraktekan skill dan keahlian yang mereka dapat hingga mereka benar – benat menguasai skill atau keahlian tersebut” ingat bahwa butuh waktu yang tidak sedikit untuk mempelajari hal baru. Beberapa skill atau keahlian mungkin bisa dipelajari dengan mudah dan dalam waktu singkat sedangkan keahlian tertentu lainnya sangat boleh jadi membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mempelajarinya. Ketika tiba waktunya untuk mengajarkan dan memberikan pangajaran tentang bagaimana menggunakan keahlian atau skill yang ada dan bagaimana anggota kelompok bisa secara cepat dan tepat mengaplikasikan skill atau keahlian tersebut, anda sebagai seorang guru kemudian pasti merasakan bahwa semua yang anda lakukan tidaklah sia – sia. Semua energi, pengetahuan, pengalaman, kekuatan dan kesabaran dalam mendidik mereka tidak akan pernah sia – sia dan semua pasti sangat memberikan pengaruh yang mendalam bagi mereka. Ketika mereka sudah bisa berinteraksi dengan baik, secara lebih natural dan lancar maka anda akan menyadari bahwa keahlian yang anda berikan sangatlah bermanfaat bagi mereka. Untuk lebih jauh tentang masalah ini silahkan anda lihat daftar bacaan dibawah ini mengenai informasi tambahan tentang bagaimana mengaplikasikan hal ini di dalam kelas.

MENINGKATKAN SKILL DAN KEAHLIAN KOMUNIKASI DAN INTERPERSONAL
Pelatihan Efektivitas Pengajaran versi Gordon (TET)
Thomas Gordon (1974) telah menggunakan dan mengembangkan ide – ide dari Carl Roger yang utamanya berkaitan dengan Pelatihan Efektivitas Pengajaran versi Gordon (TET), sebuah metode yang menitikberatkan pada pentingnya peningkatan hubungan dan interaksi antara guru dan siswa agar dapat tercipta pengembangan kemampuan komunikasi dan interpersonal yang lebih efektif.
Pelatihan Efektivitas Pengajaran versi Gordon (TET) memberikan sebuah model dan contoh pembelajaran bagaimana membangun komunikasi dan hubungan yang lebih jujur dan terbuka dalam kelas dan untuk memberikan resolusi terhadap konflik yang mungkin saja bisa terjadi antara guru dan siswa dengan cara yang lebih demokratis dan menguntungkan (win - win solution).
Mendengar Secara Aktif
Salah satu dari tujuan Pelatihan Efektivitas Pengajaran versi Gordon (TET) adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas komunikasi dan hubungan antara guru dan siswa. Salah satu cara yang bisa sangat efektif untuk bisa menerapkan hal ini, menurut Gordon adalah dengan cara mendengar secara aktif apa yang diinginkan oleh siswa mereka. Untuk melakukan hal ini para guru haruslah merangkum atau memparafrasekan apa yang dikatakan oleh siswa sehingga siswa tersebut merasa lebih termotivasi untuk bicara dan mengungkapkan pendapat mereka dengan lebih bersemangat dan jujur serta terbuka. Menurut Gordon metode mendengarkan secara aktif ini sangat membantu para siswa untuk lebih bisa mengekspresikan perasaan, memecahkan masalah, dan membangun rasa percaya yang tinggi terhadap sang guru.
Berikut contoh dari bukunya Gordon Pelatihan Efektivitas Pengajaran versi Gordon (TET) tentang bagaimana metode mendengarkan aktif ini dijalankan, silahkan disimak:
1. Siswa: Sally merobek hasil gambaran saya bu! (sambil menangis terisak)
Guru: Kamu kecewa karena kehilangan hasil gambaran kamu dan marah karena Sally merobeknya?
Siswa: Ya, dan sekarang saya harus melakukannya kembali dari awal bu…
2. Siswa: Richard selalu curang. Saya tidak akan bermain bersama dia lagi.
Guru: Kamu sangat membenci Richard karena dia selalu curang sehingga kamu memutuskan untuk berhenti bermain dengan dia?
Siswa: Yup, lebih baik saya bermain saja dengan Tommy dan David.
3. Siswa: Sekolah ini benar – benar tidak seperti sekolah saya yang dulu. Anak-anak disana lebih ramah dan baik hati
Guru: Kamu rindu dengan lingkungan sekolah kamu yang dulu?
Siswa: T¬entu saja bu.
Seperti yang anda bisa lihat pada contoh diatas bahwa guru merefleksikan ulang atau menyatakan ulang apa yang terjadi pada siswa tersebut dengan lebih detail, jelas dan objektif. Sang guru hanya fokus pada perasaan siswa dan menghindari untuk memberikan nasehat. Hal ini untuk menolong siswa yang bersangkutan mengembalikan perasaan mereka yang kecewa, sedih atau putus asa yang juga merupakan langkah efektif untuk mensetting pikiran mereka agar lebih bisa terbuka dan mau untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi. Hal ini secara tidak langsung membuka jalan bagi terbukanya solusi bagi mereka.
Gordon yakin dan percaya bahwa metode mendengarkan secara aktif ini sangat efektif karena metode ini sedapat mungkin menghindari sekat – sekat atau hambatan – hambatan yang mengganggu atau merusak komunikasi 2 arah. Hambatan atau sekat yang dimaksudkan disini bisa dalam bentuk; memerintah, mengancam, memberikan ajaran – ajaran moral yang berlebihan, menceramahi atau mengkuliahi, menghakimi, etika, memberikan simpati yang berlebihan, terlalu banyak bertanya, pertanyaan tajam yang menyudutkan, dan semacamnya.
Menurut Gordon, hambatan dan sekat pembatas yang disebutkan diatas acapkali menimbulkan reaksi mental yang negatif dari para siswa seperti perasaan dendam dan benci, marah serta pembelaan diri yang berlebihan yang dapat merusak hubungan komunikasi antara guru dan siswa selanjutnya bisa berujung pada persoalan serius dalam pengurusan kelas dan sebagainya.
Penyelesaian Masalah.
Selain bertujuan untuk dengan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan interaksi di antara sesama anggota tim, T.E.T (Turnamen Permainan Tim) juga bertujuan untuk membantu para guru menyelesaikan persoalan – persoalan di kelas secara lebih efektif. Dasar dari pendekatan problem solving atau solusi terhadap masalah adalah bahwa persoalan atau masalah itu bersifat kepemilikan dalam artian bahwa baik siswa maupun guru biasa memiliki masalah dalam kehidupannya. Menurut Gordon, konsep kepemilikan ini penting agar kita bisa dengan mudah menganalisis solusi terhadap masalah. Solusi bagi siswa yang memiliki masalah adalah mendengarkan secara aktif, sedangkan bagi guru ialah dengan menggunakan pendekatan “pesan saya” dengan menggunakan metode resolusi konflik.
Sebelum melihat lebih jauh mengenai pendekatan ini, mari kita lihat lebih dulu apa sebenarnya yang dimaksudkan Gordon dengan kepemilikan persoalan/masalah.

Siapa yang memiliki masalah?
Gordon menjelaskan perbedaan antara siswa dan guru yang memiliki masalah dalam kaitannya secara nyata dan konkret. Ketika sebuah persoalaan memiliki pengaruh langsung, nyata dan berkaitan sepenuhnya dengan siswa maka itu merupakan masalah siswa, begitu juga sebaliknya.
Gordon mengatakan bahwa para guru dapat membedakan persoalan mereka dengan mengajukan pertanyaan seperti ”Apakah saya merasa sakit, tersinggung, atau terbebani karena tingkah laku siswa? atau apakah saya merasa tidak diterima ketika saya menyuruh mereka bertindak seperti apa yang saya pikir mereka seharusnya bertindak?” Jika sang guru menjawab ya untuk jawaban pertama maka persoalannya merujuk pada sang guru sedangkan jika jawabannya ya untuk pertanyaan yang kedua maka sang muridlah yang memiliki persoalan.
Brophy dan Rohrkemper (1981) melakukan riset dan penelitian lebih lanjut tentang hal ini terhadap para guru yang kemudian dibedakan ke dalam 12 persoalan utama yaitu prestasi yang buruk, permusuhan, pembangkangan, hiperaktif, penolakan di antara sesama teman, rasa malu yang sangat tinggi serta rasa rendah tinggi dan menarik diri dari pergaulan.

Para peneliti mengklasifikasi persoalan yang ada berdasarkan teori Gordon yaitu:
• Masalah yang dimiliki guru : Perilaku siswa dipengaruhi oleh kebutuhan atau keinginan siswa.
• Masalah yang dimiliki siswa : kebutuhan atau keinginan siswa sangat dipengaruhi oleh siswa itu sendiri bukan karena gurunya.
• Persoalan bersama : yaitu ketika pola perilaku siswa tidak secara langsung mempengaruhi guru tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap manajemen dan kontrol kelas. (misalnya terhadap siswa yang hiperaktif, dsb)
Para peneliti juga menemukan sebuah fakta bahwa para guru yang bertindak karena memiliki masalah mempengaruhi bagaimana mereka mengajar, dan hal ini pun sangat berpengaruh terhadap para siswa itu sendiri. Sebaliknya bagi siswa yang bertindak karena memiliki masalah merasa menjadi korban dari lingkungan yang berada diluar kendali. Terkadang para guru pun merasa kewalahan menangani para siswa yang bertindak dalam kasus seperti membuat masalah, dan parahnya lagi terkadang guru membiarkan saja kejadian ini karena menganggap hal ini sebagai sebuah persoalan biasa dan wajar adanya.

Apa yang bisa dilakukan guru untuk menolong para siswa yang memiliki masalah?
Gordon (1974) memberikan beberapa alternatif solusi untuk menolong siswa yang memiliki masalah dalam kesehariannya. Menurutnya rahasia dan solusinya sebenarnya sederhana saja yaitu dengan MENDENGARKAN. Yah, hanya dengan berkomunikasi dengan tidak berbicara sama sekali atau komunikasi pasif membuat mereka merasa anda menghargai mereka karena mau mendengarkan masalah mereka sehingga mereka bisa lebih mencurahkan apapun masalah yang mereka miliki.
Selain metode mendengarkan secara pasif, metode lain yang terbukti efektif adalah adanya “respond dan pengakuan positif”, baik secara verbal atau non verbal yang memberi signal kepada mereka dengan perhatian berupa anggukan, senyuman, berkata “ohh…” atau “saya paham…” adalah contoh – contoh respon yang memberitahu mereka bahwa kita peduli dan perhatian terhadap apa yang mereka katakan.
Ketika pada saat tersebut siswa yang sedang “curhat” tentang masalah mereka masih merasa canggung atau segan untuk berbicara, seorang guru dapat menggunakan metode Gordon yang lain yang kita sebut sebagai “pembuka pintu” atau ”pembuka ulang”. Cara ini merupakan sebuah alternatif lain agar para siswa bisa termotivasi atau tersemangati untuk mau mencurahkan masalah mereka secara lebih jujur dan terbuka. Beberapa contoh sederhananya seperti berikut: “apa yang kamu katakan kedengarannya serius, bisa diceritakan lebih jauh lagi…” “mengapa tidak dibicarakan saja untuk saat ini?” atau dengan berkata ”kamu kelihatannya bingung..”atau “apa yang kamu katakan kelihatannya menarik, saya ingin mendengarnya lebih jauh lagi…”

Apa yang bisa dilakukan guru untuk menolong masalah mereka sendiri?
Ketika masalah atau persolan yang terjadi adalah persoalan yang dimiliki sang guru tersebut maka ketika perilaku siswa yang ada mempengaruhi keadaan jiwa/suasana hati guru yang sedang mengajar maka strategi yang bisa digunakan adalah penggunaan metode “PESAN SAYA”. Metode ini adalah sebuah metode yang dibuat guru kepada para siswa yang memiliki masalah dalam perilaku mereka yang kemudian secara negatif mempengaruhi para guru. Gordon mengatakan bahwa cara atau metode ini terbukti efektif karena memiliki kemungkinan besar mengubah perilaku dan sikap siswa yang tidak diinginkan dan hanya meminimalisir perilaku yang bersifat negatif saja.
Metode memberikan kesan kepada para siswa tersebut bahwa apa yang mereka lakukan itu salah dan memberikan efek langsung kepada guru. Menurut Gordon, jika para siswa tersebut mengetahui bahwa tindakan dan perilaku mereka berefek langsung terhadap guru mereka maka sangat mungkin bagi mereka untuk termotivasi agar mau berubah.

Metode “Pesan saya” memiliki 3 komponen utama yaitu:

1. Tidak menyalahkan dan tidak menghakimi tingkah laku siswa secara langsung
2. Gambaran nyata dan konkret dari pengaruh tingkah laku tersebut berpengaruh terhadap guru
3. Sebuah gambaran agar bagaimana tindakan mereka bisa membuat para guru tersebut merasa bahwa mereka masih dalam proses belajar

Masing – masing komponen ini dapat kita lihat dalam contoh bagaimana metode ini diterapkan secara sederhana dalam percakapan berikut: “Ketika kamu meninggalkan kelas tanpa ijin, maka kamu telah membuang – buang waktu saya dan ini membuatku marah dan frustasi”
Seperti yang anda lihat bahwa metode ini secara jelas menggambarkan bagaimana tingkah laku siswa yang sengaja keluar kelas tanpa ijin dan efeknya terhadap guru yaitu dengan membuang – buang waktunya dan bagaimana hal ini membuat guru tersebut marah dan frustasi. Hal ini memberi kesan mendalam kepada siswa tersebut bahwa tindakan atau perilakunya tersebut salah.

Hal ini jauh lebih bagus ketimbang mengatakan “kamu selalu meninggalkan kelas tanpa seijinku, kapan kamu akan dewasa?” kalau hal ini yang disampaikan maka pesan yang terbawa kedalam alam bawah sadar mereka bahwa mereka benar – benar memiliki perilaku yang tidak baik dan sangat buruk. Gordon meyakini bahwa pesan yang disampaikan memiliki efek mental yang sangat besar kepada siswa baik pesan yang disampaikan secara positif atau negatif. Apalagi pesan negatif. Pesan tersebut biasanya membuat siswa merasa rendah mutunya/bodoh, rendah diri dan selalu merasa bahwa mereka memang anak – anak yang dicap salah dan imbasnya timbul pernyataan dalam alam bawah sadar mereka bahwa “ada yang salah dengan kamu, dan gara – gara kamu hal ini bisa terjadi”. Sebaliknya penerapan metode “pesan saya” ini memiliki efek yang jauh lebih positif dan secara langsung maupun tidak langsung menumbuhkan semangat dan motivasi agar mereka mau berubah.

Solusi terhadap konflik
Ada saat – saat tertentu juga dimana cara – cara atau metode – metode yang digunakan guru tetap saja tidak mampu menyelesaikan permasalahan siswa meski sang guru telah berupaya keras mengatasinya baik melalui strategi mendengarkan secara aktif atau pesan saya, seperti yang diselenggarakan sebelumnya. Saat dimana guru atau siswa harus berbenturan keinginan dan persoalan antara satu dan lainnya. Dalam kasus ini bisa dikatakan bahwa guru dan murid masing – masing memiliki persoalan tersendiri. Seperti contoh berikut:
Guru: Tom, kamu terlambat lagi hari ini! Setiap kali hal ini terjadi saya terpaksa harus mengulangi pelajaran dengan kamu secara pribadi lagi. Saya capek Tom jika hal ini terus kamu lakukan.
Siswa: Mmmm, sebenarnya ini bukan salah saya bu. Saya memiliki kelas bola basket di pagi hari dan pelatih saya terus mengajarkan kami hingga akhir kelas.

Sangat jelas kita lihat dari percakapan ini bahwa baik guru maupun siswa tersebut memiliki kebutuhan yang berbeda yang berujung pada konflik. Ketika konflik ini terjadi di dalam kelas, maka sebenarnya sangat mudah diatasi, menurut Gordon apabila kita menggunakan salah satu dari metode berikut ini yaitu metode I atau metode II.

Metode I adalah metode yang digunakan dimana guru menggunakan kekuatan dan wewenangannya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri melebihi sang siswa tersebut sehingga guru menang dan siswa harus kalah. Sedangkan metode II, sang guru menangguhkan kebutuhan siswa dan membiarkan siswa menang sedagkan dia kalah atau terpaksa mengalah. Berikut adalah salah satu contoh bagaimana metode I dan II bisa diterapkan.

Metode I (guru menang, siswa kalah)
Guru: Tom, kamu terlambat lagi! Cukup sudah. Kamu hanya punya dua pilihan masuk ke kelas tepat waktu atau keluar dari kelas, dan itu adalah keputusan final!

Metode II (Siswa menang, guru kalah)
Guru: Tom, saya sangat harapkan agar kamu bisa datang kesini tepat waktu. Sehingga lebih mudah bagi saya untuk tidak harus mengulangi pelajarannya sejak awal lagi.
Siswa: Kayaknya saya tidak bisa bu. Karenanya jika anda berupaya rebut dengan saya maka saya akan keluar dari kelas ini.
Guru: Oke, oke….jangan marah dong…upayakan saja untuk datang ke kelas ini tepat waktu yah…
Bisa kita lihat secara jelas bahwa pada bagian pertama sang guru menggunakan wewenangnya menyelesaikan masalah dan pada metode II sang guru berupaya untuk mengalah. Hal ini memunculkan kebencian pada sang murid pada metode pertama, pengendalian dan keahlian untuk memecahkan masalah pada metode kedua.
Sebagai salah satu alternatif lain dari kedua metode tersebut, Gordon menawarkan metode III yaitu metode pendekatan dimana guru dan murid atau siswa berupaya untuk bekerja sama antara satu sama lainnya. Metode III ini didasarkan pada model penyelesaian ilmiah dan didalamnya meliputi:
1. Mendefenisikan masalah
2. Menghasilkan solusi alternatif
3. Mengevaluasi solusi yang ada
4. Memutuskan solusi mana yang paling baik
5. Menentukan bagaimana mengaplikasikan keputusan tersebut
6. Memutuskan bagaimana solusi bisa menyelesaikan masalah

Sebelumnya telah kita lihat bersama bahwa permasalahan Tom yakni kedatangannya yang terlambat bisa diupayakan melalui metode I atau II tetapi dengan metode yang ketiga ini diharapkan bisa menjadi lebih baik. Coba perhatikan contoh percakapan berikut ini:

Guru: Tom, ketika kamu datang terlambat lagi ke dalam kelas. Ini benar – benar membuat saya marah dan stress (Metode Pesan Saya)
Siswa: Ini bukan salah saya, Mr. Smith. Saya memiliki kelas bola basket di pagi hari dan pelatih saya tidak akan mengijinkan kami keluar hingga kelas berakhir.
Guru: Saya mengerti. Kamu merasa harus tinggal hingga menit terakhir karena kamu tidak ingin mendapatkan masalah dengan guru/pelatih kamu kan? (mendengar aktif)
Siswa: Yah benar pak.
Guru: Mungkin alangkah lebih baik jika saya berbicara dengan pelatih kamu
Siswa: Tidak, itu tidak akan menolong. Anak – anak lain sudah mencobanya. Karena katanya jika kamu ingin mengikuti kelas bola basket maka kamu harus tinggal hingga kelas berakhir. Saya juga berpikir bahwa kelas anda juga penting tapi saya tidak bisa melawan pelatih basket tersebut.
Guru: Baiklah, kayaknya kita berdua memiliki persoalan yang serupa. Tapi saya tetap ingin kamu datang kesini tepat waktu. Punya cara tidak supaya kita berdua bisa menemukan solusi yang menguntungkan kedua pihak?
Siswa: Mungkin yang bisa saya lakukan adalah menyuruh Gabriel menuliskan ulang semua instruksi yang ada untuk saya, ketika saya datang, saya akan datang secara diam – diam dan dengan begitu saya atau apa yang sedang diajarkan dan saya tidak akan mengganggu siapapun.
Guru: Kedengarannya bagus itu. Oke saya akan memastikan bahwa Gabriel akan menulis instruksi yang saya berikan dan saya akan berikan waktu untuk itu.
Siswa: Terima kasih Mr. Smith.

Dapat kita lihat bahwa dalam metode III ini ada sebuah kerjasama antara kedua belah pihak dan bukan kekuatan yang digunakan untuk mencari solusi. dan solusi yang didapatkan tidaklah merugikan guru atau seorang siswa dan tidak ada pula rasa benci atau dendam yang dapat terjadi sebagaimana jika kita menerapkan metode I dan II. Manfaat lain yang didapatkan jika metode III diterapkan adalah bahwa adanya peningkatan motivasi, harga diri siswa karena merasa dihargai, kepercayaan diri yang tinggi, kepedulian, kepercayaan terhadap diri dan guru karena mereka merasa keberadaan mereka dihargai sehingga mereka bisa memikul tanggung jawab yang lebih besar.

Terapi Kenyataan Metode Glasser
William Glasser, seorang psikiater telah mengembangkan sebuah model manajemen kelas yang menekankan pada ketergantungan sosial dan pemenuhan kebutuhan dan tanggung jawab sosial dalam cara yang lebih realistis.
Model yang diterapkannya didasarkan pada model (Terapi Kenyataan) yang memfokuskan pada pendekatan dan solusi untuk kenakalan remaja. Persoalan mendasarnya ialah bahwa kebutuhan mendasar manusia yang tidak terpenuhi seperti kebutuhan akan cinta dan kasih sayang atau perasaan dihargai.
Kekurangan akan kebutuhan ini bisa menyebabkan manusia teralienasi dan terasing dari kehidupan sekitar karena merasa tidak dihargai dan tidak merasakan cinta dan kasih sayang dari sesamanya. Karena itu metode terapi kenyataan versi Glasser diharapkan mampu menolong mereka yang termasuk ke dalam golongan ini sehingga mereka bisa melihat dunia dengan lebih indah.

Terapi Kenyataan Di dalam Ruang Kelas
Berikut beberapa strategi yang bisa diterapkan guru melalui metode Terapi Kenyataan untuk mennolong para siswa memenuhi kebutuhan mereka agar bisa mencapai apa yang mereka inginkan.

Fokus pada tingkah laku kekinian/arus/zaman
Glasser (1972) telah meneliti dan mengamati bahwa ternyata kita manusia cenderung lebih memikirkan bagaimana kita merasa ketimbang bagaimana dan apa yang telah kita lakukan. Karena itu guru harus memfokuskan inti persoalan pada perbaikan sikap dan tingkah laku tanpa menafikkan perasaan seorang siswa.

Mengevaluasi Tindakan
Siswa akan merasa lebih termotivasi jika mereka tahu apa konsekuensi dan akibat dari tindakan dan tingkah laku yang mereka lakukan terhadap sesama. Dengan cara ini guru bisa melakukan sesuatu latihan agar siswa – siswa yang ada bisa merasakan bagaimana tindakan mereka sebenarnya memberikan efek dan akibat langsung terhadap siswa lainnya.

Merencanakan Tindakan Yang Lebih Bertanggungjawab
Dengan strategi ini guru menolong siswa untuk merencanakan apa yang ingin mereka lakukan sebelum menerapkannya dalam bentuk tindakan nyata sehingga mereka bisa bersikap lebih bertanggungjawab. Rencana yang diadakan haruslah dalam bentuk perencanaan yang bisa dijalankan dalam langkah – langkah yang mudah dan sederhana agar mereka merasa mudah dalam menerapkannya.

Komitmen
Sekali mereka telah membuat rencana dan mengembangkannya, maka perlu diajarkan dan dilatih bagaimana mereka bisa menjalankan dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap apa yang mereka telah rencanakan baik dalam bentuk verbal atau non verbal. Jika dalam bentuk tertulis maka harus ada daftar tindakan apa yang akan mereka lakukan sehingga kemudian apa yang mereka lakukan bisa dievaluasi dengan baik.

Menerima Tanpa Alasan
Tidak ada alasan untuk menerima dalih atau alasan siswa yang gagal dalam menjalankan tugas dan tanggung awab yang diberikan. Karena ketika seorang guru menerima sekali saja alasan mereka maka sebenarnya guru telah melemahkan komitmen mereka untuk bertindak sesuai rencana dan komitmen.

Tidak Ada Hukuman
Dalam terapi kenyataan hukuman dianggap sebagai sebuah bentuk memunculkan ulang perasaan kegagalan, karena itu sangat dihindari. Jika siswa tersebut gagal, maka mereka dibiarkan saja untuk melalui tahapan – tahapan dalam realita dan mengajarkan mereka untuk menerima konsekuensi dan resiko dari apa yang mereka lakukan ketimbang harus memberi mereka hukuman. Jika kegagalan yang dialami terjadi berkali - kali maka perlu bagi guru untuk mengevaluasi rencana yang telah dibuat karena mungkin saja rencana tersebut diluar kemampuan siswa tersebut.
Baru – baru ini Glasser (1985) telah mengembangkan sebuah pendekatan terapis baru yang berimplikasi terhadap kedisiplinan di sekolah yang disebut sebagai teori kontrol. Teori kontrol menyarankan para siswa untuk mengikuti aturan dan bekerja keras dan cerdas di sekolah untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka akan cinta, kasih sayang dan kebebasan. Kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan membuat beragam aktivitas di sekolah seperti diskusi -diskusi dalam kelas, kerja kelompok yang diawasi sekolah, ekstra kurikuler, pembelajaran langsung oleh siswa, serta kompetisi antar sesama siswa di sekolah. Glasser yakin bahwa jika kegiatan atau cara ini diberlakukan dan diterapkan disekolah maka para siswa akan lambat laun merasa termotivasi untuk mengontrol tindakan dan tingkah laku mereka sehingga mereka pun bisa tumbuh menjadi lebih dewasa.

PENARAPAN DI DALAM KELAS: Menyelenggarakan Pertemuan di Dalam Kelas
Penerapan terapi kenyataan di dalam kelas dapat menciptakan suasana dan keterlibatan di antara sesama siswa dan guru. Ketika para siswa tersebut merasa bahwa mereka terlibat dan dihargai keberadaan mereka dalam setiap kegiatan maka mereka akan sangat mungkin menunjukan ketertarikan dan keterlibatan yang aktif dalam kegiatan yang berlangsung dalam kelas maupun di luar kelas. Sehingga akan tumbuh kepercayaan diri dan kelayakan diri yang tinggi.
Salah satu cara untuk membuat para siswa merasa terlibat adalah dengan mengadakan kegiatan atau pertemuan dalam ruang kelas. Glasser membagi 3 jenis pertemuan:
1. Pertemuan penyelesaian masalah sosial.
2. Pertemuan terbuka dan tertutup
3. Pertemuan diagnosis pendidikan

Untuk membuat pertemuan atau mengadakan pertemuan dalam ruang kelas, beberapa strategi berikut dapat membantu:

1. Pertemuan harus diadakan antara murid dan guru dalam bentuk lingkaran
2. Pertemuan yang ada haruslah cukup pendek atau singkat untuk siswa sekolah dasar dan lebih panjang untuk siswa sekolah menengah atas, dan yang paling penting bahwa pertemuan tersebut haruslah diselenggarakan setiap hari atau paling tidak tiap dua hari sekali
3. Seorang guru harus memulai dengan pertemuan terbuka-tertutup untuk memudahkan siswa memahami apa yang ingin diajarkan
4. Seorang guru harus memulai dengan pembukaan atau menanyakan siswa suatu hal yang menarik perhatian mereka
5. Agar siswa merasa bersemangat untuk berdiskusi dan terlibat dalam kegiatan di kelas, seorang guru harus mengatakan kepada mereka bahwa tidak ada jawaban yang benar atau salah dalam diskusi kali ini
6. Adalah penting bagi guru untuk tidak menghakimi secara reaksional apa – apa yang dilontarkan siswa secara kelompok/group
7. Setiap permasalahan yang ada dalam kelompok akan dibawa atau diangkat secara terbuka kedalam diskusi
8. Komentar – komentar atau tanggapan yang berasal dari siswa dapat difarafrasekan ulang oleh guru atau dirangkum ulang oleh guru
9. Seorang guru tidak ditekankan untuk berupaya menyelesaikan masalah yang ada dalam setiap pertemuan. Karena terkadang masalah yang ada begitu kompleks dan tidak bisa diselesaikan secara singkat dan cepat atau mudah.
Glasser menyatakan bahwa persoalan atau permasalahan dalam pertemuan kelas bisa memberikan sebuah gambaran atau format baru dalam rangka penyelesaian masalah sehingga jika suatu saat seorang guru menemui masalah maka bisa dicari jalan keluarnya dengan beberapa strategi yang disebutkan diatas.
Silahkan lihat Palomares dan Ball (1974), Frearn dan Mc Cabe untuk persoalan bagaimana menyelenggarakan diskusi kelompok atau pertemuan secara grup.

Penjelasan Nilai - Nilai
Sidney Simon telah mengembangkan sebuah program yang disebut penjelasan nilai - nilai yang berdasarkan atau berbasis sebuah dasar pikiran bahwa kebanyakan kaum muda dewasa ini tidak mengenali atau bahkan tidak mempedulikan lagi nilai – nilai yang ada. Dia percaya bahwa para orang – orang muda atau kaum muda tersebut perlu untuk menguji atau melihat kembali nilai – nilai tentang bagaimana mereka melihat hidup dan kehidupan ini serta bagaimana mereka melihat keputusan dan membuat keputusan dalam hidup ini. Simon menganggap dan meyakni bahwa penjelasan nilai – nilai dalam hidup ini tidak tergantung pada nilai – nilai dari seseorang itu sendiri tetapi lebih pada bagaimana dia memberikan nilai kepada kehidupan itu sendiri.
Untuk mewujudkan tujuan menolong siswa menggapai tujuan mereka sendiri dan menjelasksn nilai – nilai yang mereka yakini dan percayai, sang guru harus menyiapkan latihan khusus yang melibatkan para siswa untuk berdiskusi secara aktif di dalam kelas. Simon, Howe, dan Kirchenbaum (1972) telah membuat 79 nilai – nilai yang dirumuskan dan dijabarkan secara detail untuk kemudian dapat digunakan di dalam kelas.
Salah satu latihan yang dia tulis didalam bukunya adalah menolong para siswa tersebut berpikir apa sebenarnya aktivitas dan kegiatan yang mereka senangi dan mereka sukai dan apakah mereka memiliki waktu atau memberikan waktu khusus untuk itu. Untuk anda para guru, kenapa anda tidak mencoba saja apa yang saya jelaskan disini dalam kelas anda? Buatlah daftar 10 hingga 15 hal yang anda sangat nikmati dan peroleh yang dilakukan dalam hidup anda. Tulislah setelah nama kesenangan atau kebahagiaan yang anda temui, tanggal berapa anda alami dan jalani hal itu? Kemudian taruh atau buatlah tanda dolar pada masing – masing aktivitas yang memiliki harga atau nilai lebih dari 5 dollar. Sekarang, lihat daftar yang anda buat tadi sekali lagi dan taruh huruf atau tanda P pada kegiatan atau aktivitas yang biaeanya membutuhkan perencanaan yang matang.
Periksa kembali daftar yang anda buat tersebut, kemudian taruhlah huruf atau tanda S pada kegiatan atau aktivitas yang biasanya melibatkan diri anda bersama orang lain. Jadi kegiatan yang tidak bisa dikerjakan sendiri. Terakhir, taruhlah huruf atau tanda A pada kegiatan atau aktivitas yang anda kerjakan sendiri. Dari gambaran ini, apakah kegiatan atau aktivitas tersebut memberikan penjelasan serta gambaran manusia macam apa anda? Guru yang menggunakan metode ini dapat menggiring para siswa ke dalam diskusi dimana pembagian kelompok didasarkan pada pertanyaan seperti; Kegiatan apa yang memberikan nilai bagi kebanyakan orang/siswa? Kenapa beberapa orang perlu memberikan waktu tertentu untuk menikmati hal – hal yang mereka senangi sedangkan yang lainnya tidak? Kegiatan atau aktivitas apa sebenarnya yang mereka nikmati atau peroleh lakukan? Mengapa mereka nikmat melakukannya? Apakah mereka – para siswa tersebut – merasa bahaw nilai – nilai yang mereka anut akan berubah atau tetap sama? Langkah apa yang dapat diambil untuk merubah atau mengubah kebiasaan individu – individu dalam mengatur waktunya?
Dalam latihan kegiatan lainnya, para guru dapat menggunakan pertanyaan yang tidak lengkap atau belum selesai untuk membangkitkan semangat dan motivasi dalam berdiskusi baik tentang cita – cita mereka, sikap-sikap mereka, perasaan mereka, dan kepercayaan atau keyakinan mereka. Beberapa contoh yang bisa anda gunakan antara lain:
 saya ingin…..
 ketika saya dewasa….
 dalam waktu 10 tahun….
 saya akan menjadi….
 menurut pendapat saya…..
 saya sangat menikmati membaca tentang…..
 saya marah ketika……
Pendekatan lain yang mungkin bisa anda lakukan adalah mengambil isu – isu atau topik – topik yang kontroversial dan menempatkan isu – isu atau topik – topik tersebut pada akhir tiap – tiap rangkaian kesatuan kalimat yang dibuat. Guru kemudian menyuruh para siswa tersebut untuk menandai posisi mereka pada kalimat yang mereka buat dan mendiskusikan alasan – alasan yang mereka pilih. Kegiatan ini sangat berguna dalam mendiskusikan isu – isu atau topik – topik yang berhubungan dengan masalah seksual, narkoba, ataupun isu – isu atau topik – topik yang disukai para siswa. Meskipun teknik penjelasan nilai – nilai telah lama digunakan didalam sekolah semenjak berabad – abad yang lalu, kritik tentang pendekatan ini tetap ada dan timbul dari masa ke masa khususnya pada masalah etis dan pelaksanaan aktivitas ini (yaitu dengan cara mengkomunikasikan ke siswa bahwa tidak ada satu pun nilai yang mereka pahami lebih baik dari pada siswa lainnya, yang berarti semua nilai yang mereka anut itu benar dan sah – sah saja).
Banyak pendidik percaya bahwa sangatlah penting untuk mengajarkan siswa sistem nilai – nilai baik moral maupun agama. Sebagai contoh, pada kelompok yang berdebat atau mendiskusikan tentang aborsi tentu ada yang pro dan kontra tetapi kedua-duanya sama-sama menyatakan bahwa mereka menaruh perhatian utama pada kelangsungan hidup sang bayi. Karena itu nilai – nilai yang sama dapat digunakan untuk mengukur atau menilai topik atau isu yang kontroversial sekalipun. Dalam kasus ini, membangun nilai – nilai yang ada tidak menjamin bawa para siswa tersebut juga akan bertingkah laku menurut nilai – nilai yang mereka anut – sebuah tujuan dari penjelasan nilai kepada siswa – (Hersh, Miller, & Fielding, 1980)
Apa yang terjadi jika sebagai misal, sang guru memiliki aturan yang berlaku tentang menyontek itu tidak baik dan tidak etis tetapi pada saat yang sama sejumlah siswa atau mungkin kebanyakan siswa memiliki pandangan yang berbeda bahwa menyontek itu baik dan bisa dilakukan ketika ujian berlangsung? Apakah sang guru akan menerima system nilai dari para siswa ini atau memberitahukan mereka secara pasti bahwa mereka harus mengikuti system nilai yang telah dibangun guru tersebut? Apakah sang guru akan membatasi ruang lingkup diskusi tentang nilai – nilai tersebut atau memberikan larangan dan ancaman apabila mereka tidak menjalankan system nilai yang diya.kini oleh guru tersebut?
Isu atau topik lain yang penting adalah bahwa apakah para siswa bisa mendiskusikan apa yang sebenarnya mereka rasakan atau membuat pernyataan yang secara sosial dapat diterima oleh sesama teman dalam kelompok mereka. Namun banyak kritikan yang kemudian muncul yang mempertanyakan apakah para siswa tersebut benar – benar mengeksplorasi system nilai yang dibangun secara mendalam ataukah hanya untuk membuat klarifikasi dan pembenaran terhadap nilai – nilai yang mereka anut sendiri selama ini.
Pelatihan Keahlian Sosial
Salah satu tujuan terpenting dari pendidikan bagi kemanusiaan adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam bersosialisasi baik secara personal maupun secara interpersonal. Terdapat sejumlah bukti-bukti bahwa tindakan atau sikap sosial yang rendah dapat mempengaruhi prestasi akademik mereka, dan berujung kemudian pada kesulitan penyesuaian secara psikologis dengan kelompok sosial tertentu (cartledge & Milburn, 1978). Hops dan Cobb (1973) mendefenisikan keahlian sosial dalam lingkup sosial sebagai hal yang bisa berhubungan dengan tugas yang dijalankan atau berhubungan dengan personal seseorang, yang pertama meliputi tindakan atau tingkah laku yang berkaitan dengan keberadaan, pemberian tugas yang ada secara konsisten dan regular, dan pemenuhan apa yang dibutuhkan guru, sedangkan yang kedua meliputi tindakan menolong, berbagi, menyapa orang lain, dan pembatasan dan pembiasaan untuk tidak bertindak agresif.
Banyak strategi dan teknik yang telah dilakukan untuk melatih para siswa keahlian sosial dalam rangka meningkatkan skill atau kemampuan beradaptasi secara sosial kemasyrakatan. Strategi ini bertujuan untuk melatih para siswa keahlian dan kemampuan interpersonal yang lebih baik dan tindakan yang lebih dewasa secara sosial utamanya dalam hal – hal yang dilakukan di dalam kelas. Strategi ini diambil dari berbagai macam teknik mulai dari strategi atau metode behavioral, kognitif, psikologi humanistik, dan banyak lagi strategi atau metode lainnya yang telah disinggung dan dibahas sebelumnya pada bab – bab yang terdahulu.
Strategi atau metode berikut ini acapkali digunakan dalam pelatihan atau training – training membangun kecakapan sosial (social skills):
 Menyuruh siswa untuk mencontohi pola tindakan orang lain sebagai sebuah bentuk dari kontrol diri, berbagi dan kerjasama.
 Memberikan para siswa kesempatan untuk praktek atau simulasi tindakan dan tingka laku yang etis dan baik secara social.
 Menggunakan penegasan positif untuk mengajarkan para siswa tersebut kecakapan – kecakapan sosial yang baru dan untuk mempertahankan frekuensi kecakapan atau keahlian agar dapat bertahan lama
 Menggunakan pola pendekatan modifikasi tindakan kognitif seperti pelatihan yang diinstruksikan sendiri untuk menekankan pembangunan dan pengembangan keahlian berpikir spesifik (pernyataan diri) agar bisa membimbing mereka dalam kehidupan sosial nyata nantinya.
Teknik kognitif lainnya yang bisa digunakan mengajarkan para siswa tersebut untuk mengenali masalah dan situasi dan untuk berhenti sejenak dan berpikir sebelum mereka bertindak. Intinya adalah para siswa tersebut diajarkan untuk lebih melawan dan mendidik diri mereka untuk menghindari hal – hal atau kecenderungan untuk berbuat negatif dan membentuk mereka untuk lebih bisa melihat sesuatu secara positif dan lebih bisa berpikir secara profuktif dan positif yang akan kemudian membentuk mereka dengan kebiasaan positif khususnya dalam hal menghadapi masalah. (Bash dan Camp, 1980) contohnya seperti “apa masalahnya?” “apa rencana saya?” “apakah saya menggunakan rencana saya?” dan “bagaimana saya bisa melaksanakannya?”
Bagi para guru adalah penting untuk mengingat dan memahami sejumlah kecakapan dan keahlian sosial yang dibutuhkan siswa sebelum melatih mereka dalam ruang kelas. Bahwa pertama, memilih dan menentukan kecapakan dan keahlian tertentu yang memang benar – benar dibutuhkan dalam lingkungan sosial siswa nantinya setelah mereka selesai sekolah. Ini untuk memastikan bahwa tindakan dan tingkah laku yang baru mereka kembangkan bisa diterima oleh orang lain khususnya orang tua dan lingkungan dimana mereka berada. Kedua, pastikan bahwa anda memilih jenis pelatihan yang memang benar – benar sesuai dengan level kemampuan dan keahlian siswa. Sebagai contoh, jangan menyuruh siswa yang masih terlalu kecil atau muda untuk membuat dan terlibat dalam kegiatan yang membutuhkan tingkat penalaran dan logika berpikir yang tinggi yang berhubungan dengan masalah sosial. Akhirnya, ketika anda para guru ingin mengajarkan siswa anda kecapakan atau keahlian baru seperti menunggu giliran atau belajar antri misalnya, maka anda diharapkan bisa mengajari mereka secara sabar dan dengan berbagai macam cara agar mereka bisa bertingkah laku dan menerapkannya secara lebih baik (baik dirumah, playgroup atau di sekolah) sebagai akibatnya, rencana untuk mempraktekkan keahlian dan kecapakan dalam berbagai macam situasi dan kondisi dan dengan berbagai macam orang bisa dipenuhi sehingga pada gilirannya nanti skill ini bisa diterapkan dimana saja.
Isu atau topik ini adalah sentral dan krusial dalam semua program pengajaran tingkah laku. Kegiatan atau aktivitas berikutnya yang bisa dilakukan di dalam kelas adalah menggunakan 5 langkah pembangunan kecapakan atau keahlian sosial yang dikembangkan oleh McGinnis dkk (1984) untuk siswa sekolah dasar yang dinamakan sebagai penanaman skill.
APLIKASI DI DALAM RUANG KELAS: Meningkatkan Kecapakan Dan Keahlian Siswa
5 langkah kecakapan yang dibutuhkan dalam membangun pola tindakan dan keahlian sosial adalah sebagai berikut:
1. Modeling (Memberikan Contoh)
2. Simulasi (Role Play)
3. Umpan Balik Hasil Kerja
4. Praktek
5. Penguatan
Sebagai contoh, mari kita lihat bagaimana langkah – langkah ini bekerja dalam mengajarkan keahlian “Bagaimana Menahan Kemarahan”
MODELING (Memberikan Contoh)
Langkah pertama bagaimana mengajarkan para siswa tersebut bagaimana menahan kemarahan adalah dengan menjadi contoh terlebih dahulu bagaimana berhubungan menahan kemarahan itu sendiri atau kita sebagai guru harus bisa memberikan contoh yang baik terlebih dahulu. Contoh konkret dalam penerapan masalah ini adalah dengan melakukan langkah – langkah sebagai berikut:
1. Stop dan hitung 1 hingga 10
2. Pikirkan tentang pilihan – pilihan yang anda buat. Saya bisa memberitahukan orang tersebut bahwa saya marah, saya bisa pulang saja dan mencoba untuk istrahat dan santai tanpa perlu merasa marah.
3. Bertindaklah menurut pilihan terbaik anda.
SIMULASI (Role Play)
Setelah anda telah memodel atau memberi contoh langkah – langkah penerapan skill di atas, para siswa harus mempraktekan langkah – langka tersebut dalam bentuk simulasi. Ini bisa mereka lakukan dengan mengadakan simulasi yang relevan dengan tugas yang diberikan. Sebagai contoh, mereka bisa melakukan simulasi menahan kemarahan dengan bermain game yaitu ketika mereka kalah.
UMPAN BALIK HASIL KERJA
Ketika para siswa tersebut telah selesai melakukan simulasi atau role play, adalah sangat penting bagi guru untuk memberikan umpan balik hasil kerja mereka. Umpan balik haruslah lebih spesifik, fokus pada ketepatan hasil kerja mereka misalnya apakah semua simulasi yang dilakukan sudah benar atau masih ada yang kurang? Apakah bahasa tubuh mereka sudah tepat dan sebagainya. Pastikan juga agar anda memberikan pujian bagi mereka yang berpenampilan terbaik. Hal ini bisa memberikan motivasi pada mereka untuk lebih bisa melakukan hal ini dalam kehiduan nyata.
PEMBELAJARAN YANG BERSIFAT KOOPERATIF
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya pada bab 5, bahwa terdapat beberapa tipe pembelajaran yang bisa kita lakukan agar proses pentransferan ilmu dan pengetahuan kepada siswa dapat berjalan maksimal. Diantaranya adalah: Pembelajaran yang bersifat individual, kompetitif dan kooperatif.
Masing masing tipe ini mempunyai efek dan pengaruh yang berbeda dalam hubungannya motivasi dan interaksi di dalam kelas. Penulis melihat bahwa ada kecenderungan bagi siswa untuk sulit dan gagal dalam berinteraksi dalam pembelajaran yang bersifat individual dan kompetitif ketimbang model pembelajaran yang bersifat kooperatif. Karena itu penelitian ini berusaha memberikan sejumlah gambaran dan deskripsi betapa pembelajaran model kooperatif penting untuk membangun motivasi dan kontrol diri siswa dan kedepannya diharapkan dapat meningkatkan prestasi para siswa tersebut.
Meskipun ada berbagai macam cara dalam mengeksekusi metode pembelajaran yang bersifat kooperatif ini, namun menurut Slavin pada prinsipnya ada beberapa karakteristik atau ciri khas metode ini yaitu:
1. Siswa bekerja dalam kelompok yang beranggotakan 4 hingga 6 orang dalam satu tim atau grup yang tetap konsisten dalam beberapa minggu
2. Para siswa diberikan motivasi dan pemahaman untuk saling membantu satu sama lain untuk mempelajari materi yang diberikan dalam suatu kelompok
3. Dalam beberapa teknik yang pernah diterapkan, selalu ada reward (penghargaan) yang diberikan berdasarkan prestasi kerja masing – masing kelompok. Hadiah yang diberikan bisa dalam berbagai bentuk dari sekedar penghargaan secara verbal, surat piagam penghargaan hingga nilai khusus bagi kelompok yang menang.
4 teknik yang paling umum dan paling banyak digunakan dalam pembelajaran yang bersifat kooperatif adalah kompetisi permainan antar kelompok (TGT), Pembagian prestasi menurut kelompok (STAD), teka – teki bergambar (JIGSAW), dan penelitian dan pemeriksaan yang berbasis kelompok (GROUP INVESTIGATION).
Kompetisi / Turnamen Antar Kelompok (TGT)
Dalam kompetisi atau turnamen antar kelompok (TGT) ini, siswa – siswa dari Berbagai kemampuan, ras, dan gender dikelompokkan dalam grup yang beranggotakan 4 hingga 5 orang. Setelah guru mempresentasikan materi pelajaran yang ada, tim atau kelompok yang ada harus melengkapi lembar kerja dan kuis yang diberikan guru selanjutnya bekerja dalam kelompok guna persiapan kompetisi atau turnamen yang biasanya diadakan setiap seminggu sekali. Dalam kompetisi atau turnamen antar kelompok (TGT) ini siswa diinstruksikan berkompetisi yang masing – masing anggotanya berjumlah 3 orang, ini kita sebut sebagai “turnamen meja” dimana mereka akan berkompetisi dengan sesama siswa yang berkemampuan sepadan yang biasanya didasarkan pada hasil dari kompetisi dari pertandingan yang terdahulu. Akibatnya, siapapun kelompok atau siswa yang memiliki nilai yang terkecil di masing – masing kelompok tetap mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih poin sebanyak mungkin dengan kelompok yang memiliki nilai yang tertinggi.
Turnamen atau pertandingan berlangsung dimana peraturannya adalah masing – masing siswa yang ada dalam kelompok berganti – gantian mengambil kartu yang ada dan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan dan telah dipelajari sebelumnya selama seminggu tersebut. Diakhir turnamen atau pertandingan, guru akan membuat surat yang didalamnya berisikan hasil pertandingan beserta nilai dan skor dari masing – masing kelompok atau tim (seperti pada pertandingan bowling). Meskipun anggota kelompok tetaplah seperti semula, namun tugas dalam turnamen atau pertandingan bisa sangat mungkin berubah berdasarkan kinerja atau prestasi kerja masing – masing siswa.
Pembagian prestasi menurut kelompok (STAD)
Pembagian prestasi menurut kelompok (STAD) ini pada prinsipnya menggunakan metode yang kurang lebih sama dengan metode kompetisi atau turnamen antar kelompok (TGT) namun dengan perbedaan pada materi misalnya kuis – kuis yang diberikan selama 15 menit dimana masing – masing siswa harus melakukannya setelah mereka belajar bersama kelompoknya. Skor dan nilai akhir dijumlahkan secara kolektif dimana nilai tertinggilah yang keluar sebagai pemenang. “Nilai peningkatan” juga diperhitungkan.
Jigsaw
Dalam model pembelajaran yang menggunakan metode ini, siswa dilibatkan dalam tim atau kelompok yang lebih heterogen. Materi pelajaran dibagi kepada masing – masing anggota tim/kelompok dan siswa – siswa dalam kelompok tersebut akan berusaha untuk membaur dengan siswa dari kelompok yang berbeda tetapi memiliki topik pelajaran yang sama. Selanjutnya, mereka kembali ke kelompok mereka dan mengajarkan apa yang mereka telah pelajari di kelompok sebelumnya hingga semua anggota kelompok dites dan diberikan informasi yang sesuai. Misalnya, katakanlah bahwa sang guru memberikan tugas kepada para siswanya untuk mencari informasi sebanyak mungkin tentang Martin Luther King Jr. maka sang guru tersebut akan membagi informasi autobiografi sang tokoh kedalam beberapa bagian tergantung jumlah siswa yang ada dalam kelompok. Para siswa tersebut akan belajar dengan siswa dari kelompok lain yang memiliki topik pelajaran atau topik persoalan yang sama. Kemudian seperti biasa mereka akan kembali ke kelompoknya untuk mengajarkan anggota kelompok tersebut apa yang telah mereka pelajari.
Tujuan utamanya adalah untuk mempelajari lebih dalam tentang biografi sang tokoh tersebut. Nilai atau skor yang didapat sangat bergantung pada prosedur apa yang dipakai. Satu pendekatan hanya bisa diterapkan untuk satu orang siswa saja. Sedangkan untuk pendekatan kolektif lebih mengarah pada penilaian secara tim.
Penelitian atau Penyelidikan Kelompok (Group Investigation)
Penelitian atau penyelidikan kelompok adalah salah satu metode pembelajarn kooperatif dimana para siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk menyelesaikan berbagai proyek kelas yang ada. Masing – masing tim membagi kerja kelompoknya ke dalam topik – topik yang lebih sederhana untuk kemudian masing anggota kelompok mengerjakan tugas dan kegiatan yang relevan agar bisa mencapai target yang diberikan. Masing – masing kelompok membuat sebuah presentasi tentang penelitian mereka ke depan kelas. Dalam penelitian atau penyelidikan kelompok ini, penghargaan atau reward dan poin tidak diberikan. Tetapi siswa tersebut disemangati untuk mngerjakan tugas tim secara bersamaan untuk mencapai tujuan bersama.
Penelitian Berbasis Pembelajaran Kooperatif (Research on Cooperative Learning)
Penelitian Berbasis Pembelajaran Kooperatif menemukan bahwa pembelajaran kooperatif dalam banyak hal memiliki efek dan implikasi positif terhadap prestasi akademik seseorang. Pembelajaran kooperatif juga meningkatkan sense of cooperative atau nilai – nilai kerjasama antara satu dan lain serta belajar untuk bagaimana bersosialisasi dan rendah hati terhadap sesama khususnya sesama anggota kelompok yang ada. Selain itu juga, pembelajaran kooperatif juga dapat meningkatkan hubungan ras dan penerimaan sosial yang lebih baik dan lebih dalam lagi antara individu – individu yang ada di dalam kelas. (Johnson & Johnson, 1987b; Slavin, 1983). Berdasarkan penemuan – penemuan positif yang ditemui dalam penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat menjadi sebuah alternatif pembelajaran dan alternatif metode diantara sekian banyak metode yang ada yang terbilang efektif dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran di kelas yang lebih baik. Setelah mengetahui bahwa pembelajaran yang bersifat kooperatif itu lebih baik dan efektif dan bahwa beberapa temuan dan penelitian mendukung kebenaran itu maka alangkah lebih baik jika kita bahas lebih jauh tentang bagaimana mempersiapkan para siswa tersebut dengan pembelajaran yang bersifat kooperatif ini.
Penulis telah banyak berbicara dan berbincang dengan para guru dan kebanyakan diantara mereka berkata bahwa pembelajaran yang bersifat kooperatif ini telah mereka terapkan tetapi tetap tidak kunjung berhasil. Setelah berbicara lebih jauh ternyata ditemukan fakta bahwa para guru tersebut tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup tentang bagaimana mempersiapkan pembelajaran kelompok atau kooperatif ini. Ada satu hal yang perlu diingat dan dicatat bagi para guru bahwa para siswa menghabiskan kebanyakan waktu mereka di sekolah dengan saling bersaing dan berkompetisi dan acapkali merasa sulit untuk menghindari iklim kompetisi ini. Karena itu berikut ini kita akan mempelajari lebih jauh tentang bagaimana Aplikasi di Ruang Kelas dapat menolong para guru untuk mempersiapkan siswa mereka dengan pembelajaran yang bersifat kooperatif.
APLIKASI DI RUANG KELAS : Mempersiapkan Siswa Untuk Pembelajaran Kooperatif
Kesuksesan dari pembelajaran yang bersifat kooperatif sangatlah tergantung pada kemampuan para siswa dalam berinteraksi secara tepat dan layak dalam ruang lingkup kelompok atau grup. Johnson dkk (1984) mengidentifikasi sejumlah keahlian interpersonal yang dibutuhkan untuk mewujudkan keberhasilan penerapan pembelajaran yang bersifat kooperatif ini, antara lain sebagai berikut:
MEMBENTUK
Pembentukan skill atau keahlian sangat dibutuhkan dalam upaya untuk mengatur kelompok dan membangun pola tingkah laku yang sesuai dengan standar minimum norma – norma sosial yang berlaku. Salah satu skill yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk masuk dan keluar atau bergabung dan keluar dari suatu komunitas tanpa menimbulkan gangguan dan keributan, kemampuan untuk bekerja secara tenang dan kemampuan untuk secara aktif berinteraksi dalam tim/kelompok (misalnya: bekerja sesuai tugas yang diberikan), memberikan semangat pada setiap orang untuk berpartisipasi secara aktif, dan kemampuan untuk berinteraksi dengan anggota kelompok secara lebih sopan. Salah satu pola tingkah laku yang paling penting yang dititikberatkan oleh guru adalah kecenderungan untuk “menjatuhkan” bukanlah bagian dari pembentukan kelompok yang efektif.
MEMFUNGSIKAN
Keahlian untuk memfungsikan diri dalam kelompok menduduki posisi kedua untuk skill yang dibutuhkan dalam pembelajaran yang bersifat kooperatif. Keahlian – keahlian tersebut meliputi kemampuan untuk mengelola dan mengimplementasikan kemampuan kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan serta untuk mempertahankan efektifitas serta harmonisasi hubungan kerja sesama anggota kelompok.
Keahlian ini meliputi kemampuan untuk memberikan sokongan dan dukungan antara sesama anggota kelompok dan kemampuan untuk menerima keberadaan dan kontribusi sesama anggota tim, kemampuan untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk menanyakan atau mengklarifikasi apa yang sedang terjadi, kemampuan untuk menawarkan atau menanyakan keberadaan anggota kelompok lain dan kemampuan untuk memotivasi dan menyemangati anggota kelompok dengan sugesti atau optimisme dan antusiasme yang mendalam.
MEMFORMULASIKAN
Memformulasikan keahlian ditujukan untuk menolong para siswa memahami dan mengingat materi – materi pelajaran yang diberikan dalam kelompok atau tim selama pelajaran berlangsung. Keahlian ini meliputi kemampuan untuk mendorong dan memotivasi anggota kelompok untuk merangkum dan meringkas apa yang telah diajarkan, kemampuan untuk menambahkan sejumlah informasi berharga ketika informasi yang dikumpulkan tidak sempurna atau tidak lengkap, kemampuan untuk mereview informasi – informasi yang bermanfaat dan penting serta kemampuan untuk menggunakan strategi atau metode yang efektif agar dapat mengingat sebanyak mungkin informasi serta ide – ide yang penting dan berguna selama pelajaran.
MEMFERMENTASIKAN
Keahlian memfermentasikan dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menstimulasi dan memformulasi ulang hal – hal yang bersifat akademik untuk kemudian disusun secara lebih baik berdasarkan ide, nalar dan logika berpikir sederhana. Contoh sederhana dari hal ini adalah kemampuan untuk mengkritisi ide orang lain tetapi bukan orang yang bersangkutan, kemampuan untuk mengetahui bagaimana memformulasikan hal – hal sederhana menjadi sebuah hal yang besar dan bermanfaat, kemampuan untuk mengetahui menyelediki serta mendeteksi dan meramu informasi yang ada untuk kemudian membuat suatu jawaban dan solusi yang tepat terhadap masalah. Inti terbesar dari permasalahan dan persoalan pada level ini adalah untuk mengajarkan para anggota kelompok untuk tidak berhenti hanya pada level mengetahui semata tetapi juga hingga level mencari solusi pada setiap masalah yang dihadapi. Karena terkadang solusi yang cepat terhadap sebuah masalah tidaklah selalu memberikan jalan keluar yang efektif dan seringkali bukanlah solusi yang terbaik.
Para siswa tersebut haruslah dibiasakan untuk belajar membiasakan diri berpikir dan memberikan sumbangsih intelektual kepada anggota kelompok. Sebagai penekanan sekali lagi penulis tegaskan bahwa para siswa perlu diajarkan untuk belajar mengasah diri agar bisa memiliki kemampuan dalam membaur dengan sesama anggota kelompok serta keahlian untuk memenej situasi di dalam kelas dan untuk memastikan agar para anggota kelompok dapat mengembangkan sikap dan tingkah laku yang positif terhadap kelompok.
Keahlian fungsional berfungsi menolong para siswa tersebut untuk berinteraksi secara lebih efektif dalam kelompok atau tim. Keahlian dalam memformulasi ini diharapkan dapat menolong para siswa untuk lebih dapat berpikir dan membuat keputusan yang lebih efektif dalam kelompok mereka. Akhirnya keahlian memformulasikan yang biasanya cukup sulit untuk diajarkan, bisa diharapkan menolong para siswa untuk terbiasa menghadapi persoalan dan bisa membuat solusi dan jalan keluar terhadap setiap permasalahan baik yang rumit maupun yang terlihat sepele.
Untuk mengajarkan keahlian ini, Johnson dkk (1984, p. 49) memberikan 5 langkah efektif untuk bisa menguasainya, antara lain:
1. “Pastikan bahwa para siswa tersebut melihat pentingnya keahlian ini” sejumlah guru kadang menggunakan papan bulletin atau poster untuk mengidentifikasikan pola tingkah laku anggota – anggota yang ada dalam kelompok. Keahlian ini dapat diperkenalkan semenjak hari-hari pertama sekolah yaitu ketika sang guru memperkenalkan sekolah beserta segala peraturan dan prosedur yang ada di sekolah tersebut. Mulailah dengan beberapa peraturan dasar kelompok dan diskusikan pentingnya keahlian dan pola tingkah laku ini ke dalam kelas.

2. “Pastikan bahwa para siswa tersebut memahami apa itu skill dan keahlian serta bagaimana dan kapan menggunakannya” seperti yang pernah saya ungkapkan sebelumnya di dalam bab 7 bahwa para siswa perlu melihat model dan mempraktikan peraturan – peraturan dasar di dalam kelas. Mengamati tingkah laku kelompok tertentu serta menciptakan kesempatan untuk mempraktikan skill atau keahlian adalah prosedur standar dalam rangka belajar bagaimana untuk bertingkah laku secara tepat dan layak dalam pergaulan kelompok.
3. “Mempersiapkan situasi yang kondusif dan memotivasi para siswa untuk menguasai skill atau keahlian yang dibutuhkan” sebagai seorang guru anda dapat memberikan dan memberikan contoh inisiatif peran - peran yang berbeda untuk masing – masing anggota kelompok misalnya menjadi penyemangat, menjadi perangkum, menjadi pencari inti masalah, menjadi pencari solusi dan lain – lain dan kemudian mengevaluasi ke dalam kelas bagaimana peran – peran tersebut dimainkan di dalam kelompok. Biasanya siswa akan memberikan saran dan pendapat yang membangun seperti tips – tips yang berkaitan dengan persoalan tersebut yang berkorelasi positif dengan tindakan, keahlian atau prosedur dalam interaksi kelompok tersebut.
4. “Pastikan bahwa para siswa memiliki waktu yang cukup dan mengetahui secara jelas prosedur dalam berdiskusi (dan menerima umpan balik tentang) seberapa baik mereka menggunakan keahlian ini” Sebagai seorang guru anda dituntut untuk bisa menolong para siswa tersebut mengevaluasi fungsi – fungsi dari keahlian yang mereka miliki. Salah satu cara yang terbukti efektif adalah dengan membagikan kuesioner yang berisi pertanyaan - pertanyaan seperti berikut…
“Apakah anda merasa bahwa anda bisa memberikan kontribusi yang positif kepada kelompok atau tim anda?” atau “apakah anggota kelompok yang ada mendengarkan suara atau kontribusi anda?” “seberapa efektif dan berhasilkah kelompok anda bekerja dalam rangka mencari solusi terhadap persoalan yang ada?” jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi indikator – indikator yang sangat berguna bagi terciptanya interaksi yang baik dalam kelompok.
5. “Pastikan bahwa para siswa bisa konsisten dan persisten dalam mempraktekan skill dan keahlian yang mereka dapat hingga mereka benar – benat menguasai skill atau keahlian tersebut” ingat bahwa butuh waktu yang tidak sedikit untuk mempelajari hal baru. Beberapa skill atau keahlian mungkin bisa dipelajari dengan mudah dan dalam waktu singkat sedangkan keahlian tertentu lainnya sangat boleh jadi membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mempelajarinya. Ketika tiba waktunya untuk mengajarkan dan memberikan pangajaran tentang bagaimana menggunakan keahlian atau skill yang ada dan bagaimana anggota kelompok bisa secara cepat dan tepat mengaplikasikan skill atau keahlian tersebut, anda sebagai seorang guru kemudian pasti merasakan bahwa semua yang anda lakukan tidaklah sia – sia. Semua energi, pengetahuan, pengalaman, kekuatan dan kesabaran dalam mendidik mereka tidak akan pernah sia – sia dan semua pasti sangat memberikan pengaruh yang mendalam bagi mereka. Ketika mereka sudah bisa berinteraksi dengan baik, secara lebih natural dan lancar maka anda akan menyadari bahwa keahlian yang anda berikan sangatlah bermanfaat bagi mereka. Untuk lebih jauh tentang masalah ini silahkan anda lihat daftar bacaan dibawah ini mengenai informasi tambahan tentang bagaimana mengaplikasikan hal ini di dalam kelas.

MENINGKATKAN SKILL DAN KEAHLIAN KOMUNIKASI DAN INTERPERSONAL
Pelatihan Efektivitas Pengajaran versi Gordon (TET)
Thomas Gordon (1974) telah menggunakan dan mengembangkan ide – ide dari Carl Roger yang utamanya berkaitan dengan Pelatihan Efektivitas Pengajaran versi Gordon (TET), sebuah metode yang menitikberatkan pada pentingnya peningkatan hubungan dan interaksi antara guru dan siswa agar dapat tercipta pengembangan kemampuan komunikasi dan interpersonal yang lebih efektif.
Pelatihan Efektivitas Pengajaran versi Gordon (TET) memberikan sebuah model dan contoh pembelajaran bagaimana membangun komunikasi dan hubungan yang lebih jujur dan terbuka dalam kelas dan untuk memberikan resolusi terhadap konflik yang mungkin saja bisa terjadi antara guru dan siswa dengan cara yang lebih demokratis dan menguntungkan (win - win solution).
Mendengar Secara Aktif
Salah satu dari tujuan Pelatihan Efektivitas Pengajaran versi Gordon (TET) adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas komunikasi dan hubungan antara guru dan siswa. Salah satu cara yang bisa sangat efektif untuk bisa menerapkan hal ini, menurut Gordon adalah dengan cara mendengar secara aktif apa yang diinginkan oleh siswa mereka. Untuk melakukan hal ini para guru haruslah merangkum atau memparafrasekan apa yang dikatakan oleh siswa sehingga siswa tersebut merasa lebih termotivasi untuk bicara dan mengungkapkan pendapat mereka dengan lebih bersemangat dan jujur serta terbuka. Menurut Gordon metode mendengarkan secara aktif ini sangat membantu para siswa untuk lebih bisa mengekspresikan perasaan, memecahkan masalah, dan membangun rasa percaya yang tinggi terhadap sang guru.
Berikut contoh dari bukunya Gordon Pelatihan Efektivitas Pengajaran versi Gordon (TET) tentang bagaimana metode mendengarkan aktif ini dijalankan, silahkan disimak:
1. Siswa: Sally merobek hasil gambaran saya bu! (sambil menangis terisak)
Guru: Kamu kecewa karena kehilangan hasil gambaran kamu dan marah karena Sally merobeknya?
Siswa: Ya, dan sekarang saya harus melakukannya kembali dari awal bu…
2. Siswa: Richard selalu curang. Saya tidak akan bermain bersama dia lagi.
Guru: Kamu sangat membenci Richard karena dia selalu curang sehingga kamu memutuskan untuk berhenti bermain dengan dia?
Siswa: Yup, lebih baik saya bermain saja dengan Tommy dan David.
3. Siswa: Sekolah ini benar – benar tidak seperti sekolah saya yang dulu. Anak-anak disana lebih ramah dan baik hati
Guru: Kamu rindu dengan lingkungan sekolah kamu yang dulu?
Siswa: T¬entu saja bu.
Seperti yang anda bisa lihat pada contoh diatas bahwa guru merefleksikan ulang atau menyatakan ulang apa yang terjadi pada siswa tersebut dengan lebih detail, jelas dan objektif. Sang guru hanya fokus pada perasaan siswa dan menghindari untuk memberikan nasehat. Hal ini untuk menolong siswa yang bersangkutan mengembalikan perasaan mereka yang kecewa, sedih atau putus asa yang juga merupakan langkah efektif untuk mensetting pikiran mereka agar lebih bisa terbuka dan mau untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi. Hal ini secara tidak langsung membuka jalan bagi terbukanya solusi bagi mereka.
Gordon yakin dan percaya bahwa metode mendengarkan secara aktif ini sangat efektif karena metode ini sedapat mungkin menghindari sekat – sekat atau hambatan – hambatan yang mengganggu atau merusak komunikasi 2 arah. Hambatan atau sekat yang dimaksudkan disini bisa dalam bentuk; memerintah, mengancam, memberikan ajaran – ajaran moral yang berlebihan, menceramahi atau mengkuliahi, menghakimi, etika, memberikan simpati yang berlebihan, terlalu banyak bertanya, pertanyaan tajam yang menyudutkan, dan semacamnya.
Menurut Gordon, hambatan dan sekat pembatas yang disebutkan diatas acapkali menimbulkan reaksi mental yang negatif dari para siswa seperti perasaan dendam dan benci, marah serta pembelaan diri yang berlebihan yang dapat merusak hubungan komunikasi antara guru dan siswa selanjutnya bisa berujung pada persoalan serius dalam pengurusan kelas dan sebagainya.
Penyelesaian Masalah.
Selain bertujuan untuk dengan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan interaksi di antara sesama anggota tim, T.E.T (Turnamen Permainan Tim) juga bertujuan untuk membantu para guru menyelesaikan persoalan – persoalan di kelas secara lebih efektif. Dasar dari pendekatan problem solving atau solusi terhadap masalah adalah bahwa persoalan atau masalah itu bersifat kepemilikan dalam artian bahwa baik siswa maupun guru biasa memiliki masalah dalam kehidupannya. Menurut Gordon, konsep kepemilikan ini penting agar kita bisa dengan mudah menganalisis solusi terhadap masalah. Solusi bagi siswa yang memiliki masalah adalah mendengarkan secara aktif, sedangkan bagi guru ialah dengan menggunakan pendekatan “pesan saya” dengan menggunakan metode resolusi konflik.
Sebelum melihat lebih jauh mengenai pendekatan ini, mari kita lihat lebih dulu apa sebenarnya yang dimaksudkan Gordon dengan kepemilikan persoalan/masalah.

Siapa yang memiliki masalah?
Gordon menjelaskan perbedaan antara siswa dan guru yang memiliki masalah dalam kaitannya secara nyata dan konkret. Ketika sebuah persoalaan memiliki pengaruh langsung, nyata dan berkaitan sepenuhnya dengan siswa maka itu merupakan masalah siswa, begitu juga sebaliknya.
Gordon mengatakan bahwa para guru dapat membedakan persoalan mereka dengan mengajukan pertanyaan seperti ”Apakah saya merasa sakit, tersinggung, atau terbebani karena tingkah laku siswa? atau apakah saya merasa tidak diterima ketika saya menyuruh mereka bertindak seperti apa yang saya pikir mereka seharusnya bertindak?” Jika sang guru menjawab ya untuk jawaban pertama maka persoalannya merujuk pada sang guru sedangkan jika jawabannya ya untuk pertanyaan yang kedua maka sang muridlah yang memiliki persoalan.
Brophy dan Rohrkemper (1981) melakukan riset dan penelitian lebih lanjut tentang hal ini terhadap para guru yang kemudian dibedakan ke dalam 12 persoalan utama yaitu prestasi yang buruk, permusuhan, pembangkangan, hiperaktif, penolakan di antara sesama teman, rasa malu yang sangat tinggi serta rasa rendah tinggi dan menarik diri dari pergaulan.

Para peneliti mengklasifikasi persoalan yang ada berdasarkan teori Gordon yaitu:
• Masalah yang dimiliki guru : Perilaku siswa dipengaruhi oleh kebutuhan atau keinginan siswa.
• Masalah yang dimiliki siswa : kebutuhan atau keinginan siswa sangat dipengaruhi oleh siswa itu sendiri bukan karena gurunya.
• Persoalan bersama : yaitu ketika pola perilaku siswa tidak secara langsung mempengaruhi guru tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap manajemen dan kontrol kelas. (misalnya terhadap siswa yang hiperaktif, dsb)
Para peneliti juga menemukan sebuah fakta bahwa para guru yang bertindak karena memiliki masalah mempengaruhi bagaimana mereka mengajar, dan hal ini pun sangat berpengaruh terhadap para siswa itu sendiri. Sebaliknya bagi siswa yang bertindak karena memiliki masalah merasa menjadi korban dari lingkungan yang berada diluar kendali. Terkadang para guru pun merasa kewalahan menangani para siswa yang bertindak dalam kasus seperti membuat masalah, dan parahnya lagi terkadang guru membiarkan saja kejadian ini karena menganggap hal ini sebagai sebuah persoalan biasa dan wajar adanya.

Apa yang bisa dilakukan guru untuk menolong para siswa yang memiliki masalah?
Gordon (1974) memberikan beberapa alternatif solusi untuk menolong siswa yang memiliki masalah dalam kesehariannya. Menurutnya rahasia dan solusinya sebenarnya sederhana saja yaitu dengan MENDENGARKAN. Yah, hanya dengan berkomunikasi dengan tidak berbicara sama sekali atau komunikasi pasif membuat mereka merasa anda menghargai mereka karena mau mendengarkan masalah mereka sehingga mereka bisa lebih mencurahkan apapun masalah yang mereka miliki.
Selain metode mendengarkan secara pasif, metode lain yang terbukti efektif adalah adanya “respond dan pengakuan positif”, baik secara verbal atau non verbal yang memberi signal kepada mereka dengan perhatian berupa anggukan, senyuman, berkata “ohh…” atau “saya paham…” adalah contoh – contoh respon yang memberitahu mereka bahwa kita peduli dan perhatian terhadap apa yang mereka katakan.
Ketika pada saat tersebut siswa yang sedang “curhat” tentang masalah mereka masih merasa canggung atau segan untuk berbicara, seorang guru dapat menggunakan metode Gordon yang lain yang kita sebut sebagai “pembuka pintu” atau ”pembuka ulang”. Cara ini merupakan sebuah alternatif lain agar para siswa bisa termotivasi atau tersemangati untuk mau mencurahkan masalah mereka secara lebih jujur dan terbuka. Beberapa contoh sederhananya seperti berikut: “apa yang kamu katakan kedengarannya serius, bisa diceritakan lebih jauh lagi…” “mengapa tidak dibicarakan saja untuk saat ini?” atau dengan berkata ”kamu kelihatannya bingung..”atau “apa yang kamu katakan kelihatannya menarik, saya ingin mendengarnya lebih jauh lagi…”

Apa yang bisa dilakukan guru untuk menolong masalah mereka sendiri?
Ketika masalah atau persolan yang terjadi adalah persoalan yang dimiliki sang guru tersebut maka ketika perilaku siswa yang ada mempengaruhi keadaan jiwa/suasana hati guru yang sedang mengajar maka strategi yang bisa digunakan adalah penggunaan metode “PESAN SAYA”. Metode ini adalah sebuah metode yang dibuat guru kepada para siswa yang memiliki masalah dalam perilaku mereka yang kemudian secara negatif mempengaruhi para guru. Gordon mengatakan bahwa cara atau metode ini terbukti efektif karena memiliki kemungkinan besar mengubah perilaku dan sikap siswa yang tidak diinginkan dan hanya meminimalisir perilaku yang bersifat negatif saja.
Metode memberikan kesan kepada para siswa tersebut bahwa apa yang mereka lakukan itu salah dan memberikan efek langsung kepada guru. Menurut Gordon, jika para siswa tersebut mengetahui bahwa tindakan dan perilaku mereka berefek langsung terhadap guru mereka maka sangat mungkin bagi mereka untuk termotivasi agar mau berubah.

Metode “Pesan saya” memiliki 3 komponen utama yaitu:

1. Tidak menyalahkan dan tidak menghakimi tingkah laku siswa secara langsung
2. Gambaran nyata dan konkret dari pengaruh tingkah laku tersebut berpengaruh terhadap guru
3. Sebuah gambaran agar bagaimana tindakan mereka bisa membuat para guru tersebut merasa bahwa mereka masih dalam proses belajar

Masing – masing komponen ini dapat kita lihat dalam contoh bagaimana metode ini diterapkan secara sederhana dalam percakapan berikut: “Ketika kamu meninggalkan kelas tanpa ijin, maka kamu telah membuang – buang waktu saya dan ini membuatku marah dan frustasi”
Seperti yang anda lihat bahwa metode ini secara jelas menggambarkan bagaimana tingkah laku siswa yang sengaja keluar kelas tanpa ijin dan efeknya terhadap guru yaitu dengan membuang – buang waktunya dan bagaimana hal ini membuat guru tersebut marah dan frustasi. Hal ini memberi kesan mendalam kepada siswa tersebut bahwa tindakan atau perilakunya tersebut salah.

Hal ini jauh lebih bagus ketimbang mengatakan “kamu selalu meninggalkan kelas tanpa seijinku, kapan kamu akan dewasa?” kalau hal ini yang disampaikan maka pesan yang terbawa kedalam alam bawah sadar mereka bahwa mereka benar – benar memiliki perilaku yang tidak baik dan sangat buruk. Gordon meyakini bahwa pesan yang disampaikan memiliki efek mental yang sangat besar kepada siswa baik pesan yang disampaikan secara positif atau negatif. Apalagi pesan negatif. Pesan tersebut biasanya membuat siswa merasa rendah mutunya/bodoh, rendah diri dan selalu merasa bahwa mereka memang anak – anak yang dicap salah dan imbasnya timbul pernyataan dalam alam bawah sadar mereka bahwa “ada yang salah dengan kamu, dan gara – gara kamu hal ini bisa terjadi”. Sebaliknya penerapan metode “pesan saya” ini memiliki efek yang jauh lebih positif dan secara langsung maupun tidak langsung menumbuhkan semangat dan motivasi agar mereka mau berubah.

Solusi terhadap konflik
Ada saat – saat tertentu juga dimana cara – cara atau metode – metode yang digunakan guru tetap saja tidak mampu menyelesaikan permasalahan siswa meski sang guru telah berupaya keras mengatasinya baik melalui strategi mendengarkan secara aktif atau pesan saya, seperti yang diselenggarakan sebelumnya. Saat dimana guru atau siswa harus berbenturan keinginan dan persoalan antara satu dan lainnya. Dalam kasus ini bisa dikatakan bahwa guru dan murid masing – masing memiliki persoalan tersendiri. Seperti contoh berikut:
Guru: Tom, kamu terlambat lagi hari ini! Setiap kali hal ini terjadi saya terpaksa harus mengulangi pelajaran dengan kamu secara pribadi lagi. Saya capek Tom jika hal ini terus kamu lakukan.
Siswa: Mmmm, sebenarnya ini bukan salah saya bu. Saya memiliki kelas bola basket di pagi hari dan pelatih saya terus mengajarkan kami hingga akhir kelas.

Sangat jelas kita lihat dari percakapan ini bahwa baik guru maupun siswa tersebut memiliki kebutuhan yang berbeda yang berujung pada konflik. Ketika konflik ini terjadi di dalam kelas, maka sebenarnya sangat mudah diatasi, menurut Gordon apabila kita menggunakan salah satu dari metode berikut ini yaitu metode I atau metode II.

Metode I adalah metode yang digunakan dimana guru menggunakan kekuatan dan wewenangannya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri melebihi sang siswa tersebut sehingga guru menang dan siswa harus kalah. Sedangkan metode II, sang guru menangguhkan kebutuhan siswa dan membiarkan siswa menang sedagkan dia kalah atau terpaksa mengalah. Berikut adalah salah satu contoh bagaimana metode I dan II bisa diterapkan.

Metode I (guru menang, siswa kalah)
Guru: Tom, kamu terlambat lagi! Cukup sudah. Kamu hanya punya dua pilihan masuk ke kelas tepat waktu atau keluar dari kelas, dan itu adalah keputusan final!

Metode II (Siswa menang, guru kalah)
Guru: Tom, saya sangat harapkan agar kamu bisa datang kesini tepat waktu. Sehingga lebih mudah bagi saya untuk tidak harus mengulangi pelajarannya sejak awal lagi.
Siswa: Kayaknya saya tidak bisa bu. Karenanya jika anda berupaya rebut dengan saya maka saya akan keluar dari kelas ini.
Guru: Oke, oke….jangan marah dong…upayakan saja untuk datang ke kelas ini tepat waktu yah…
Bisa kita lihat secara jelas bahwa pada bagian pertama sang guru menggunakan wewenangnya menyelesaikan masalah dan pada metode II sang guru berupaya untuk mengalah. Hal ini memunculkan kebencian pada sang murid pada metode pertama, pengendalian dan keahlian untuk memecahkan masalah pada metode kedua.
Sebagai salah satu alternatif lain dari kedua metode tersebut, Gordon menawarkan metode III yaitu metode pendekatan dimana guru dan murid atau siswa berupaya untuk bekerja sama antara satu sama lainnya. Metode III ini didasarkan pada model penyelesaian ilmiah dan didalamnya meliputi:
1. Mendefenisikan masalah
2. Menghasilkan solusi alternatif
3. Mengevaluasi solusi yang ada
4. Memutuskan solusi mana yang paling baik
5. Menentukan bagaimana mengaplikasikan keputusan tersebut
6. Memutuskan bagaimana solusi bisa menyelesaikan masalah

Sebelumnya telah kita lihat bersama bahwa permasalahan Tom yakni kedatangannya yang terlambat bisa diupayakan melalui metode I atau II tetapi dengan metode yang ketiga ini diharapkan bisa menjadi lebih baik. Coba perhatikan contoh percakapan berikut ini:

Guru: Tom, ketika kamu datang terlambat lagi ke dalam kelas. Ini benar – benar membuat saya marah dan stress (Metode Pesan Saya)
Siswa: Ini bukan salah saya, Mr. Smith. Saya memiliki kelas bola basket di pagi hari dan pelatih saya tidak akan mengijinkan kami keluar hingga kelas berakhir.
Guru: Saya mengerti. Kamu merasa harus tinggal hingga menit terakhir karena kamu tidak ingin mendapatkan masalah dengan guru/pelatih kamu kan? (mendengar aktif)
Siswa: Yah benar pak.
Guru: Mungkin alangkah lebih baik jika saya berbicara dengan pelatih kamu
Siswa: Tidak, itu tidak akan menolong. Anak – anak lain sudah mencobanya. Karena katanya jika kamu ingin mengikuti kelas bola basket maka kamu harus tinggal hingga kelas berakhir. Saya juga berpikir bahwa kelas anda juga penting tapi saya tidak bisa melawan pelatih basket tersebut.
Guru: Baiklah, kayaknya kita berdua memiliki persoalan yang serupa. Tapi saya tetap ingin kamu datang kesini tepat waktu. Punya cara tidak supaya kita berdua bisa menemukan solusi yang menguntungkan kedua pihak?
Siswa: Mungkin yang bisa saya lakukan adalah menyuruh Gabriel menuliskan ulang semua instruksi yang ada untuk saya, ketika saya datang, saya akan datang secara diam – diam dan dengan begitu saya atau apa yang sedang diajarkan dan saya tidak akan mengganggu siapapun.
Guru: Kedengarannya bagus itu. Oke saya akan memastikan bahwa Gabriel akan menulis instruksi yang saya berikan dan saya akan berikan waktu untuk itu.
Siswa: Terima kasih Mr. Smith.

Dapat kita lihat bahwa dalam metode III ini ada sebuah kerjasama antara kedua belah pihak dan bukan kekuatan yang digunakan untuk mencari solusi. dan solusi yang didapatkan tidaklah merugikan guru atau seorang siswa dan tidak ada pula rasa benci atau dendam yang dapat terjadi sebagaimana jika kita menerapkan metode I dan II. Manfaat lain yang didapatkan jika metode III diterapkan adalah bahwa adanya peningkatan motivasi, harga diri siswa karena merasa dihargai, kepercayaan diri yang tinggi, kepedulian, kepercayaan terhadap diri dan guru karena mereka merasa keberadaan mereka dihargai sehingga mereka bisa memikul tanggung jawab yang lebih besar.

Terapi Kenyataan Metode Glasser
William Glasser, seorang psikiater telah mengembangkan sebuah model manajemen kelas yang menekankan pada ketergantungan sosial dan pemenuhan kebutuhan dan tanggung jawab sosial dalam cara yang lebih realistis.
Model yang diterapkannya didasarkan pada model (Terapi Kenyataan) yang memfokuskan pada pendekatan dan solusi untuk kenakalan remaja. Persoalan mendasarnya ialah bahwa kebutuhan mendasar manusia yang tidak terpenuhi seperti kebutuhan akan cinta dan kasih sayang atau perasaan dihargai.
Kekurangan akan kebutuhan ini bisa menyebabkan manusia teralienasi dan terasing dari kehidupan sekitar karena merasa tidak dihargai dan tidak merasakan cinta dan kasih sayang dari sesamanya. Karena itu metode terapi kenyataan versi Glasser diharapkan mampu menolong mereka yang termasuk ke dalam golongan ini sehingga mereka bisa melihat dunia dengan lebih indah.

Terapi Kenyataan Di dalam Ruang Kelas
Berikut beberapa strategi yang bisa diterapkan guru melalui metode Terapi Kenyataan untuk mennolong para siswa memenuhi kebutuhan mereka agar bisa mencapai apa yang mereka inginkan.

Fokus pada tingkah laku kekinian/arus/zaman
Glasser (1972) telah meneliti dan mengamati bahwa ternyata kita manusia cenderung lebih memikirkan bagaimana kita merasa ketimbang bagaimana dan apa yang telah kita lakukan. Karena itu guru harus memfokuskan inti persoalan pada perbaikan sikap dan tingkah laku tanpa menafikkan perasaan seorang siswa.

Mengevaluasi Tindakan
Siswa akan merasa lebih termotivasi jika mereka tahu apa konsekuensi dan akibat dari tindakan dan tingkah laku yang mereka lakukan terhadap sesama. Dengan cara ini guru bisa melakukan sesuatu latihan agar siswa – siswa yang ada bisa merasakan bagaimana tindakan mereka sebenarnya memberikan efek dan akibat langsung terhadap siswa lainnya.

Merencanakan Tindakan Yang Lebih Bertanggungjawab
Dengan strategi ini guru menolong siswa untuk merencanakan apa yang ingin mereka lakukan sebelum menerapkannya dalam bentuk tindakan nyata sehingga mereka bisa bersikap lebih bertanggungjawab. Rencana yang diadakan haruslah dalam bentuk perencanaan yang bisa dijalankan dalam langkah – langkah yang mudah dan sederhana agar mereka merasa mudah dalam menerapkannya.

Komitmen
Sekali mereka telah membuat rencana dan mengembangkannya, maka perlu diajarkan dan dilatih bagaimana mereka bisa menjalankan dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap apa yang mereka telah rencanakan baik dalam bentuk verbal atau non verbal. Jika dalam bentuk tertulis maka harus ada daftar tindakan apa yang akan mereka lakukan sehingga kemudian apa yang mereka lakukan bisa dievaluasi dengan baik.

Menerima Tanpa Alasan
Tidak ada alasan untuk menerima dalih atau alasan siswa yang gagal dalam menjalankan tugas dan tanggung awab yang diberikan. Karena ketika seorang guru menerima sekali saja alasan mereka maka sebenarnya guru telah melemahkan komitmen mereka untuk bertindak sesuai rencana dan komitmen.

Tidak Ada Hukuman
Dalam terapi kenyataan hukuman dianggap sebagai sebuah bentuk memunculkan ulang perasaan kegagalan, karena itu sangat dihindari. Jika siswa tersebut gagal, maka mereka dibiarkan saja untuk melalui tahapan – tahapan dalam realita dan mengajarkan mereka untuk menerima konsekuensi dan resiko dari apa yang mereka lakukan ketimbang harus memberi mereka hukuman. Jika kegagalan yang dialami terjadi berkali - kali maka perlu bagi guru untuk mengevaluasi rencana yang telah dibuat karena mungkin saja rencana tersebut diluar kemampuan siswa tersebut.
Baru – baru ini Glasser (1985) telah mengembangkan sebuah pendekatan terapis baru yang berimplikasi terhadap kedisiplinan di sekolah yang disebut sebagai teori kontrol. Teori kontrol menyarankan para siswa untuk mengikuti aturan dan bekerja keras dan cerdas di sekolah untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka akan cinta, kasih sayang dan kebebasan. Kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan membuat beragam aktivitas di sekolah seperti diskusi -diskusi dalam kelas, kerja kelompok yang diawasi sekolah, ekstra kurikuler, pembelajaran langsung oleh siswa, serta kompetisi antar sesama siswa di sekolah. Glasser yakin bahwa jika kegiatan atau cara ini diberlakukan dan diterapkan disekolah maka para siswa akan lambat laun merasa termotivasi untuk mengontrol tindakan dan tingkah laku mereka sehingga mereka pun bisa tumbuh menjadi lebih dewasa.

PENARAPAN DI DALAM KELAS: Menyelenggarakan Pertemuan di Dalam Kelas
Penerapan terapi kenyataan di dalam kelas dapat menciptakan suasana dan keterlibatan di antara sesama siswa dan guru. Ketika para siswa tersebut merasa bahwa mereka terlibat dan dihargai keberadaan mereka dalam setiap kegiatan maka mereka akan sangat mungkin menunjukan ketertarikan dan keterlibatan yang aktif dalam kegiatan yang berlangsung dalam kelas maupun di luar kelas. Sehingga akan tumbuh kepercayaan diri dan kelayakan diri yang tinggi.
Salah satu cara untuk membuat para siswa merasa terlibat adalah dengan mengadakan kegiatan atau pertemuan dalam ruang kelas. Glasser membagi 3 jenis pertemuan:
1. Pertemuan penyelesaian masalah sosial.
2. Pertemuan terbuka dan tertutup
3. Pertemuan diagnosis pendidikan

Untuk membuat pertemuan atau mengadakan pertemuan dalam ruang kelas, beberapa strategi berikut dapat membantu:

1. Pertemuan harus diadakan antara murid dan guru dalam bentuk lingkaran
2. Pertemuan yang ada haruslah cukup pendek atau singkat untuk siswa sekolah dasar dan lebih panjang untuk siswa sekolah menengah atas, dan yang paling penting bahwa pertemuan tersebut haruslah diselenggarakan setiap hari atau paling tidak tiap dua hari sekali
3. Seorang guru harus memulai dengan pertemuan terbuka-tertutup untuk memudahkan siswa memahami apa yang ingin diajarkan
4. Seorang guru harus memulai dengan pembukaan atau menanyakan siswa suatu hal yang menarik perhatian mereka
5. Agar siswa merasa bersemangat untuk berdiskusi dan terlibat dalam kegiatan di kelas, seorang guru harus mengatakan kepada mereka bahwa tidak ada jawaban yang benar atau salah dalam diskusi kali ini
6. Adalah penting bagi guru untuk tidak menghakimi secara reaksional apa – apa yang dilontarkan siswa secara kelompok/group
7. Setiap permasalahan yang ada dalam kelompok akan dibawa atau diangkat secara terbuka kedalam diskusi
8. Komentar – komentar atau tanggapan yang berasal dari siswa dapat difarafrasekan ulang oleh guru atau dirangkum ulang oleh guru
9. Seorang guru tidak ditekankan untuk berupaya menyelesaikan masalah yang ada dalam setiap pertemuan. Karena terkadang masalah yang ada begitu kompleks dan tidak bisa diselesaikan secara singkat dan cepat atau mudah.
Glasser menyatakan bahwa persoalan atau permasalahan dalam pertemuan kelas bisa memberikan sebuah gambaran atau format baru dalam rangka penyelesaian masalah sehingga jika suatu saat seorang guru menemui masalah maka bisa dicari jalan keluarnya dengan beberapa strategi yang disebutkan diatas.
Silahkan lihat Palomares dan Ball (1974), Frearn dan Mc Cabe untuk persoalan bagaimana menyelenggarakan diskusi kelompok atau pertemuan secara grup.

Penjelasan Nilai - Nilai
Sidney Simon telah mengembangkan sebuah program yang disebut penjelasan nilai - nilai yang berdasarkan atau berbasis sebuah dasar pikiran bahwa kebanyakan kaum muda dewasa ini tidak mengenali atau bahkan tidak mempedulikan lagi nilai – nilai yang ada. Dia percaya bahwa para orang – orang muda atau kaum muda tersebut perlu untuk menguji atau melihat kembali nilai – nilai tentang bagaimana mereka melihat hidup dan kehidupan ini serta bagaimana mereka melihat keputusan dan membuat keputusan dalam hidup ini. Simon menganggap dan meyakni bahwa penjelasan nilai – nilai dalam hidup ini tidak tergantung pada nilai – nilai dari seseorang itu sendiri tetapi lebih pada bagaimana dia memberikan nilai kepada kehidupan itu sendiri.
Untuk mewujudkan tujuan menolong siswa menggapai tujuan mereka sendiri dan menjelasksn nilai – nilai yang mereka yakini dan percayai, sang guru harus menyiapkan latihan khusus yang melibatkan para siswa untuk berdiskusi secara aktif di dalam kelas. Simon, Howe, dan Kirchenbaum (1972) telah membuat 79 nilai – nilai yang dirumuskan dan dijabarkan secara detail untuk kemudian dapat digunakan di dalam kelas.
Salah satu latihan yang dia tulis didalam bukunya adalah menolong para siswa tersebut berpikir apa sebenarnya aktivitas dan kegiatan yang mereka senangi dan mereka sukai dan apakah mereka memiliki waktu atau memberikan waktu khusus untuk itu. Untuk anda para guru, kenapa anda tidak mencoba saja apa yang saya jelaskan disini dalam kelas anda? Buatlah daftar 10 hingga 15 hal yang anda sangat nikmati dan peroleh yang dilakukan dalam hidup anda. Tulislah setelah nama kesenangan atau kebahagiaan yang anda temui, tanggal berapa anda alami dan jalani hal itu? Kemudian taruh atau buatlah tanda dolar pada masing – masing aktivitas yang memiliki harga atau nilai lebih dari 5 dollar. Sekarang, lihat daftar yang anda buat tadi sekali lagi dan taruh huruf atau tanda P pada kegiatan atau aktivitas yang biaeanya membutuhkan perencanaan yang matang.
Periksa kembali daftar yang anda buat tersebut, kemudian taruhlah huruf atau tanda S pada kegiatan atau aktivitas yang biasanya melibatkan diri anda bersama orang lain. Jadi kegiatan yang tidak bisa dikerjakan sendiri. Terakhir, taruhlah huruf atau tanda A pada kegiatan atau aktivitas yang anda kerjakan sendiri. Dari gambaran ini, apakah kegiatan atau aktivitas tersebut memberikan penjelasan serta gambaran manusia macam apa anda? Guru yang menggunakan metode ini dapat menggiring para siswa ke dalam diskusi dimana pembagian kelompok didasarkan pada pertanyaan seperti; Kegiatan apa yang memberikan nilai bagi kebanyakan orang/siswa? Kenapa beberapa orang perlu memberikan waktu tertentu untuk menikmati hal – hal yang mereka senangi sedangkan yang lainnya tidak? Kegiatan atau aktivitas apa sebenarnya yang mereka nikmati atau peroleh lakukan? Mengapa mereka nikmat melakukannya? Apakah mereka – para siswa tersebut – merasa bahaw nilai – nilai yang mereka anut akan berubah atau tetap sama? Langkah apa yang dapat diambil untuk merubah atau mengubah kebiasaan individu – individu dalam mengatur waktunya?
Dalam latihan kegiatan lainnya, para guru dapat menggunakan pertanyaan yang tidak lengkap atau belum selesai untuk membangkitkan semangat dan motivasi dalam berdiskusi baik tentang cita – cita mereka, sikap-sikap mereka, perasaan mereka, dan kepercayaan atau keyakinan mereka. Beberapa contoh yang bisa anda gunakan antara lain:
 saya ingin…..
 ketika saya dewasa….
 dalam waktu 10 tahun….
 saya akan menjadi….
 menurut pendapat saya…..
 saya sangat menikmati membaca tentang…..
 saya marah ketika……
Pendekatan lain yang mungkin bisa anda lakukan adalah mengambil isu – isu atau topik – topik yang kontroversial dan menempatkan isu – isu atau topik – topik tersebut pada akhir tiap – tiap rangkaian kesatuan kalimat yang dibuat. Guru kemudian menyuruh para siswa tersebut untuk menandai posisi mereka pada kalimat yang mereka buat dan mendiskusikan alasan – alasan yang mereka pilih. Kegiatan ini sangat berguna dalam mendiskusikan isu – isu atau topik – topik yang berhubungan dengan masalah seksual, narkoba, ataupun isu – isu atau topik – topik yang disukai para siswa. Meskipun teknik penjelasan nilai – nilai telah lama digunakan didalam sekolah semenjak berabad – abad yang lalu, kritik tentang pendekatan ini tetap ada dan timbul dari masa ke masa khususnya pada masalah etis dan pelaksanaan aktivitas ini (yaitu dengan cara mengkomunikasikan ke siswa bahwa tidak ada satu pun nilai yang mereka pahami lebih baik dari pada siswa lainnya, yang berarti semua nilai yang mereka anut itu benar dan sah – sah saja).
Banyak pendidik percaya bahwa sangatlah penting untuk mengajarkan siswa sistem nilai – nilai baik moral maupun agama. Sebagai contoh, pada kelompok yang berdebat atau mendiskusikan tentang aborsi tentu ada yang pro dan kontra tetapi kedua-duanya sama-sama menyatakan bahwa mereka menaruh perhatian utama pada kelangsungan hidup sang bayi. Karena itu nilai – nilai yang sama dapat digunakan untuk mengukur atau menilai topik atau isu yang kontroversial sekalipun. Dalam kasus ini, membangun nilai – nilai yang ada tidak menjamin bawa para siswa tersebut juga akan bertingkah laku menurut nilai – nilai yang mereka anut – sebuah tujuan dari penjelasan nilai kepada siswa – (Hersh, Miller, & Fielding, 1980)
Apa yang terjadi jika sebagai misal, sang guru memiliki aturan yang berlaku tentang menyontek itu tidak baik dan tidak etis tetapi pada saat yang sama sejumlah siswa atau mungkin kebanyakan siswa memiliki pandangan yang berbeda bahwa menyontek itu baik dan bisa dilakukan ketika ujian berlangsung? Apakah sang guru akan menerima system nilai dari para siswa ini atau memberitahukan mereka secara pasti bahwa mereka harus mengikuti system nilai yang telah dibangun guru tersebut? Apakah sang guru akan membatasi ruang lingkup diskusi tentang nilai – nilai tersebut atau memberikan larangan dan ancaman apabila mereka tidak menjalankan system nilai yang diya.kini oleh guru tersebut?
Isu atau topik lain yang penting adalah bahwa apakah para siswa bisa mendiskusikan apa yang sebenarnya mereka rasakan atau membuat pernyataan yang secara sosial dapat diterima oleh sesama teman dalam kelompok mereka. Namun banyak kritikan yang kemudian muncul yang mempertanyakan apakah para siswa tersebut benar – benar mengeksplorasi system nilai yang dibangun secara mendalam ataukah hanya untuk membuat klarifikasi dan pembenaran terhadap nilai – nilai yang mereka anut sendiri selama ini.
Pelatihan Keahlian Sosial
Salah satu tujuan terpenting dari pendidikan bagi kemanusiaan adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam bersosialisasi baik secara personal maupun secara interpersonal. Terdapat sejumlah bukti-bukti bahwa tindakan atau sikap sosial yang rendah dapat mempengaruhi prestasi akademik mereka, dan berujung kemudian pada kesulitan penyesuaian secara psikologis dengan kelompok sosial tertentu (cartledge & Milburn, 1978). Hops dan Cobb (1973) mendefenisikan keahlian sosial dalam lingkup sosial sebagai hal yang bisa berhubungan dengan tugas yang dijalankan atau berhubungan dengan personal seseorang, yang pertama meliputi tindakan atau tingkah laku yang berkaitan dengan keberadaan, pemberian tugas yang ada secara konsisten dan regular, dan pemenuhan apa yang dibutuhkan guru, sedangkan yang kedua meliputi tindakan menolong, berbagi, menyapa orang lain, dan pembatasan dan pembiasaan untuk tidak bertindak agresif.
Banyak strategi dan teknik yang telah dilakukan untuk melatih para siswa keahlian sosial dalam rangka meningkatkan skill atau kemampuan beradaptasi secara sosial kemasyrakatan. Strategi ini bertujuan untuk melatih para siswa keahlian dan kemampuan interpersonal yang lebih baik dan tindakan yang lebih dewasa secara sosial utamanya dalam hal – hal yang dilakukan di dalam kelas. Strategi ini diambil dari berbagai macam teknik mulai dari strategi atau metode behavioral, kognitif, psikologi humanistik, dan banyak lagi strategi atau metode lainnya yang telah disinggung dan dibahas sebelumnya pada bab – bab yang terdahulu.
Strategi atau metode berikut ini acapkali digunakan dalam pelatihan atau training – training membangun kecakapan sosial (social skills):
 Menyuruh siswa untuk mencontohi pola tindakan orang lain sebagai sebuah bentuk dari kontrol diri, berbagi dan kerjasama.
 Memberikan para siswa kesempatan untuk praktek atau simulasi tindakan dan tingka laku yang etis dan baik secara social.
 Menggunakan penegasan positif untuk mengajarkan para siswa tersebut kecakapan – kecakapan sosial yang baru dan untuk mempertahankan frekuensi kecakapan atau keahlian agar dapat bertahan lama
 Menggunakan pola pendekatan modifikasi tindakan kognitif seperti pelatihan yang diinstruksikan sendiri untuk menekankan pembangunan dan pengembangan keahlian berpikir spesifik (pernyataan diri) agar bisa membimbing mereka dalam kehidupan sosial nyata nantinya.
Teknik kognitif lainnya yang bisa digunakan mengajarkan para siswa tersebut untuk mengenali masalah dan situasi dan untuk berhenti sejenak dan berpikir sebelum mereka bertindak. Intinya adalah para siswa tersebut diajarkan untuk lebih melawan dan mendidik diri mereka untuk menghindari hal – hal atau kecenderungan untuk berbuat negatif dan membentuk mereka untuk lebih bisa melihat sesuatu secara positif dan lebih bisa berpikir secara profuktif dan positif yang akan kemudian membentuk mereka dengan kebiasaan positif khususnya dalam hal menghadapi masalah. (Bash dan Camp, 1980) contohnya seperti “apa masalahnya?” “apa rencana saya?” “apakah saya menggunakan rencana saya?” dan “bagaimana saya bisa melaksanakannya?”
Bagi para guru adalah penting untuk mengingat dan memahami sejumlah kecakapan dan keahlian sosial yang dibutuhkan siswa sebelum melatih mereka dalam ruang kelas. Bahwa pertama, memilih dan menentukan kecapakan dan keahlian tertentu yang memang benar – benar dibutuhkan dalam lingkungan sosial siswa nantinya setelah mereka selesai sekolah. Ini untuk memastikan bahwa tindakan dan tingkah laku yang baru mereka kembangkan bisa diterima oleh orang lain khususnya orang tua dan lingkungan dimana mereka berada. Kedua, pastikan bahwa anda memilih jenis pelatihan yang memang benar – benar sesuai dengan level kemampuan dan keahlian siswa. Sebagai contoh, jangan menyuruh siswa yang masih terlalu kecil atau muda untuk membuat dan terlibat dalam kegiatan yang membutuhkan tingkat penalaran dan logika berpikir yang tinggi yang berhubungan dengan masalah sosial. Akhirnya, ketika anda para guru ingin mengajarkan siswa anda kecapakan atau keahlian baru seperti menunggu giliran atau belajar antri misalnya, maka anda diharapkan bisa mengajari mereka secara sabar dan dengan berbagai macam cara agar mereka bisa bertingkah laku dan menerapkannya secara lebih baik (baik dirumah, playgroup atau di sekolah) sebagai akibatnya, rencana untuk mempraktekkan keahlian dan kecapakan dalam berbagai macam situasi dan kondisi dan dengan berbagai macam orang bisa dipenuhi sehingga pada gilirannya nanti skill ini bisa diterapkan dimana saja.
Isu atau topik ini adalah sentral dan krusial dalam semua program pengajaran tingkah laku. Kegiatan atau aktivitas berikutnya yang bisa dilakukan di dalam kelas adalah menggunakan 5 langkah pembangunan kecapakan atau keahlian sosial yang dikembangkan oleh McGinnis dkk (1984) untuk siswa sekolah dasar yang dinamakan sebagai penanaman skill.
APLIKASI DI DALAM RUANG KELAS: Meningkatkan Kecapakan Dan Keahlian Siswa
5 langkah kecakapan yang dibutuhkan dalam membangun pola tindakan dan keahlian sosial adalah sebagai berikut:
1. Modeling (Memberikan Contoh)
2. Simulasi (Role Play)
3. Umpan Balik Hasil Kerja
4. Praktek
5. Penguatan
Sebagai contoh, mari kita lihat bagaimana langkah – langkah ini bekerja dalam mengajarkan keahlian “Bagaimana Menahan Kemarahan”
MODELING (Memberikan Contoh)
Langkah pertama bagaimana mengajarkan para siswa tersebut bagaimana menahan kemarahan adalah dengan menjadi contoh terlebih dahulu bagaimana berhubungan menahan kemarahan itu sendiri atau kita sebagai guru harus bisa memberikan contoh yang baik terlebih dahulu. Contoh konkret dalam penerapan masalah ini adalah dengan melakukan langkah – langkah sebagai berikut:
1. Stop dan hitung 1 hingga 10
2. Pikirkan tentang pilihan – pilihan yang anda buat. Saya bisa memberitahukan orang tersebut bahwa saya marah, saya bisa pulang saja dan mencoba untuk istrahat dan santai tanpa perlu merasa marah.
3. Bertindaklah menurut pilihan terbaik anda.
SIMULASI (Role Play)
Setelah anda telah memodel atau memberi contoh langkah – langkah penerapan skill di atas, para siswa harus mempraktekan langkah – langka tersebut dalam bentuk simulasi. Ini bisa mereka lakukan dengan mengadakan simulasi yang relevan dengan tugas yang diberikan. Sebagai contoh, mereka bisa melakukan simulasi menahan kemarahan dengan bermain game yaitu ketika mereka kalah.
UMPAN BALIK HASIL KERJA
Ketika para siswa tersebut telah selesai melakukan simulasi atau role play, adalah sangat penting bagi guru untuk memberikan umpan balik hasil kerja mereka. Umpan balik haruslah lebih spesifik, fokus pada ketepatan hasil kerja mereka misalnya apakah semua simulasi yang dilakukan sudah benar atau masih ada yang kurang? Apakah bahasa tubuh mereka sudah tepat dan sebagainya. Pastikan juga agar anda memberikan pujian bagi mereka yang berpenampilan terbaik. Hal ini bisa memberikan motivasi pada mereka untuk lebih bisa melakukan hal ini dalam kehiduan nyata.










Tugas Kelompok : Landasan Pendidikan Biologi
Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Patta Bundu, M.Ed


TERJEMAHAN
MODEL PEMBELAJARAN DAN CARA PENERAPANNYA


Oleh :
Kelompok I
Kelas A

Kamrianti Ramli, S.Pd : 10B13006
Nurfathurrahmah, S.Pd : 10B13014
Ulfa Triyani A.Latif, S.Si : 10B13017




PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2011